Nasib Munir dan Aceh sama-sama tidak jelas. Pengungkapan siapa aktor intelektual pembunuhan Munir kembali suram dengan dibebaskannya Muchdi Pr dan diikuti dengan penetapan Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Usmad Hamid sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pencemaran nama baik.
Sementara penyelesaian pelanggaran HAM Aceh masa lalu, juga tidak menemukan titik terang. Kasus Munir dan Aceh, setidaknya jadi preseden buruk betapa Negara kehilangan kewibawaannya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu.
Pascareformasi 1998, nama almarhum Munir tak bisa dipisahkan dari Aceh. Munir dianggap sebagai pribadi yang sangat konsern mengkampanyekan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh dan juga di Indonesia. Tidak henti-hentinya Munir meminta pertanggung-jawaban Negara atas terjadinya sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh, termasuk dengan memfasilitasi terbentuknya sejumlah lembaga yang khusus memfokuskan diri pada isu pengungkapan sejumlah pelanggaran HAM masa silam. Namun, hingga ajal menjemputnya, keinginan Munir untuk pengungkapan dan penuntasan pelanggaran HAM di Aceh tak kunjung tiba.
Kini, lima tahun sudah Munir meninggal, belum terlihat upaya serius dari Pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pembentukan Pengadilan HAM dan juga pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Salah seorang aktivis perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, sampai berkesimpulan, pembunuhan terhadap Munir lima tahun silam merupakan upaya untuk menutup kasus pelanggaran HAM di Aceh. “Jika kasus Munir dibiarkan (dilupakan, red) oleh masyarakat, maka kasus Aceh akan hilang,” kata Suraiya dalam aksi peringatan lima tahun terbunuhnya pejuang HAM Munir, di Simpang Lima, dua hari lalu.
Penyelesaian kasus Munir, juga menjadi ujian akan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu. SBY pernah berjanji akan mengungkap secara tuntas skenario pembunuhan Munir termasuk aktor intelektual yang terlibat. Namun, hingga kini belum ada kejelasan sejauhmana sudah pengungkapan kasus yang juga menjadi sorotan internasional itu. Malah, pemerintahan SBY membuat blunder dengan bebasnya Muchdi Pr, seorang dalang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, aktivis HAM termasuk istri almarhum Munir berharap Muchdi Pr dapat dihukum dengan berat sebagai upaya menunjukkan keseriusan Pemerintah menyelesaikan kasus tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan membebaskan Munir, menurut aktivis yang menggelar aksi peringatan lima tahun pembunuhan Munir, merupakan bukti bahwa SBY tidak benar-benar serius menyelesaikan kasus tersebut. SBY malah dituding ikut melegalkan dan mengesahkan pembunuhan Munir dengan membebaskan Muchdi Pr dari jeratan hukum.
Kita sepakat dengan kesimpulan para aktivis HAM yang menyebutkan pembebasan Muchdi Pr dan kemudian balik melayangkan tuntutan pencemaran nama baik terhadap Ketua KontraS, Usman Hamid, sebagai tindakan mencederai hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Pasalnya, jika kasus Munir saja yang jelas-jelas—berdasarkan temuan dan data-data dari lembaga HAM seperti Kontras dan Imparsial—melibatkan institusi Negara tidak jelas penyelesaiannya, sangat sulit berharap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tim-tim, Trisakti, Semanggi I dan II serta Kasus Aceh dapat diselesaikan secara bermartabat. Jika penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran HAM masih berlarut-larut, kita harus mempertanyakan kembali komitmen penegakan hukum pemerintah di bawah SBY. Karena hukum sudah berjalan pincang dan tak sesuai harapan.
Kita ingin agar SBY tidak hanya beretorika akan menyelesaikan kasus—terutama kasus pembunuhan Munir dan Aceh—sebagai bumbu-bumbu politik bahwa pemerintahannya sangat menjunjung tinggi penegakan HAM. Kita hanya berharap agar kewenangan yang dimiliki SBY dapat dimanfaatkan untuk mendesak penyelesaian kasus itu dengan segara. Selain itu, Kejaksaan Agung juga perlu melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap pembebasan Muchdi Pr, begitu dengan pihak Polda Metro Jaya agar mencabut status tersangka terhadap Usman Hamid. Penetapan Usman sebagai tersangka sama saja dengan menutup ruang pengungkapan kasus Munir dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Jika hal itu tak mampu dilakukan, menjadi benar tudingan bahwa hukum sudah lama mati di sini.(HA 120909)
Sementara penyelesaian pelanggaran HAM Aceh masa lalu, juga tidak menemukan titik terang. Kasus Munir dan Aceh, setidaknya jadi preseden buruk betapa Negara kehilangan kewibawaannya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu.
Pascareformasi 1998, nama almarhum Munir tak bisa dipisahkan dari Aceh. Munir dianggap sebagai pribadi yang sangat konsern mengkampanyekan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh dan juga di Indonesia. Tidak henti-hentinya Munir meminta pertanggung-jawaban Negara atas terjadinya sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh, termasuk dengan memfasilitasi terbentuknya sejumlah lembaga yang khusus memfokuskan diri pada isu pengungkapan sejumlah pelanggaran HAM masa silam. Namun, hingga ajal menjemputnya, keinginan Munir untuk pengungkapan dan penuntasan pelanggaran HAM di Aceh tak kunjung tiba.
Kini, lima tahun sudah Munir meninggal, belum terlihat upaya serius dari Pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pembentukan Pengadilan HAM dan juga pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Salah seorang aktivis perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, sampai berkesimpulan, pembunuhan terhadap Munir lima tahun silam merupakan upaya untuk menutup kasus pelanggaran HAM di Aceh. “Jika kasus Munir dibiarkan (dilupakan, red) oleh masyarakat, maka kasus Aceh akan hilang,” kata Suraiya dalam aksi peringatan lima tahun terbunuhnya pejuang HAM Munir, di Simpang Lima, dua hari lalu.
Penyelesaian kasus Munir, juga menjadi ujian akan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu. SBY pernah berjanji akan mengungkap secara tuntas skenario pembunuhan Munir termasuk aktor intelektual yang terlibat. Namun, hingga kini belum ada kejelasan sejauhmana sudah pengungkapan kasus yang juga menjadi sorotan internasional itu. Malah, pemerintahan SBY membuat blunder dengan bebasnya Muchdi Pr, seorang dalang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, aktivis HAM termasuk istri almarhum Munir berharap Muchdi Pr dapat dihukum dengan berat sebagai upaya menunjukkan keseriusan Pemerintah menyelesaikan kasus tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan membebaskan Munir, menurut aktivis yang menggelar aksi peringatan lima tahun pembunuhan Munir, merupakan bukti bahwa SBY tidak benar-benar serius menyelesaikan kasus tersebut. SBY malah dituding ikut melegalkan dan mengesahkan pembunuhan Munir dengan membebaskan Muchdi Pr dari jeratan hukum.
Kita sepakat dengan kesimpulan para aktivis HAM yang menyebutkan pembebasan Muchdi Pr dan kemudian balik melayangkan tuntutan pencemaran nama baik terhadap Ketua KontraS, Usman Hamid, sebagai tindakan mencederai hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Pasalnya, jika kasus Munir saja yang jelas-jelas—berdasarkan temuan dan data-data dari lembaga HAM seperti Kontras dan Imparsial—melibatkan institusi Negara tidak jelas penyelesaiannya, sangat sulit berharap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tim-tim, Trisakti, Semanggi I dan II serta Kasus Aceh dapat diselesaikan secara bermartabat. Jika penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran HAM masih berlarut-larut, kita harus mempertanyakan kembali komitmen penegakan hukum pemerintah di bawah SBY. Karena hukum sudah berjalan pincang dan tak sesuai harapan.
Kita ingin agar SBY tidak hanya beretorika akan menyelesaikan kasus—terutama kasus pembunuhan Munir dan Aceh—sebagai bumbu-bumbu politik bahwa pemerintahannya sangat menjunjung tinggi penegakan HAM. Kita hanya berharap agar kewenangan yang dimiliki SBY dapat dimanfaatkan untuk mendesak penyelesaian kasus itu dengan segara. Selain itu, Kejaksaan Agung juga perlu melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap pembebasan Muchdi Pr, begitu dengan pihak Polda Metro Jaya agar mencabut status tersangka terhadap Usman Hamid. Penetapan Usman sebagai tersangka sama saja dengan menutup ruang pengungkapan kasus Munir dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Jika hal itu tak mampu dilakukan, menjadi benar tudingan bahwa hukum sudah lama mati di sini.(HA 120909)
Tags:
editorial