Bagi masyarakat Aceh, sosok Karim Michel Tiro (selanjutnya disebut Karim saja) kalah populer dibanding ayahnya, Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya disebut Tiro). Selama puluhan tahun, namanya hanya disebutkan secara terbatas, itu pun hanya di kalangan GAM saja. Pun begitu, Tiro, ayahnya, sering menyebut namanya, baik dalam pidato maupun dalam tulisan. Dalam The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, nama anak semata wayangnya disebut berkali-kali, bahkan dengan bangga.
Iya, kini sepeninggalan Tiro, nama Karim mencuat ke permukaan: Setidaknya, ada dua sebab: karena orang-orang pada penasaran; juga karena mereka kecewa.
Penasaran karena, selama puluhan tahun masyarakat tak pernah melihat sosoknya secara langsung dan nyata. Foto dirinya juga terbatas, termasuk arsip di internet. Kisah tentangnya begitu tertutup dan misterius, kecuali beberapa dokumen dari Universitas tempatnya mengabdikan diri sebagai asisten profesor ilmu sejarah di Xavier University.
Sementara yang kecewa, memiliki alasan bermacam-macam. Meski dalam sejumlah pemberitaan, ketidakpulangan Karim disebut-sebut karena alasan keluarga yaitu ibunya, Dora, sakit keras. Tapi, sebagai anak yang berpisah cukup lama dengan orang tuanya, seharusnya Karim bisa pulang ke Aceh, menjenguk bapaknya. Di satu sisi ini sebuah dilema bagi pria yang berwajah Timur tengah ini: memilih pulang ke Aceh, ibunya sedang sakit keras. Tidak pulang ke Aceh, ayahnya juga sakit keras, dan kini sudah meninggal dunia. Sebuah keputusan yang sulit untuk seorang anak seperti Karim ini.
Asnawi Ali, warga Aceh yang lama bermukim di Swedia, bercerita jika Karim itu sosok yang paling pelit bicara. “Meuri that dijaga jarak,” ujarnya tanpa menjelaskan detailnya seperti apa. Menurut Asnawi, komentar-komentar yang dikirim melalui email, pernyataan Karim sangat normatif. “Meuri hati-hati that dipeuteubit narit,” lanjutnya sembari menambahkan pasca MoU Helsinki Karim hampir tak pernah berkomunikasi lagi dengan Tiro. Jika pun ada komunikasi dengan Karim, katanya, Tiro sering mewakilkan melalui orang dekatnya. Asnawi membenarkan jika sosok Karim memang sangat misterius.
Karim dikenal pakar dalam bidang sejarah, terutama sejarah Amerika. Pun demikian, Karim tak memilih Aceh sebagai objek kajian akademisnya seperti halnya sang ayah. Karim memilih meneliti soal sejarah Amerika abad 16 hingga 18. Jangan heran, jika kita tak pernah temukan tulisan-tulisan dia mengenai sejarah Aceh. Dalam biografi singkat seperti dimuat di website Xavier University, Karim mengakui tertarik meneliti soal sejarah perang Amerika yang jarang dikenal dan jadi perhatian akademisi, khususnya Perang 1812, Perang Meksiko dan Perang Spanyol-Amerika.
“Sengaja jih dijaga jarak dan dueh don’t care about Aceh (tidak peduli tentang Aceh),” kata Asnawi dalam bahasa Aceh bercampur Inggris.
Keterangan Asnawi ini hampir sama dengan keterangan yang disampaikan Budiman, orang Aceh yang tinggal di Washington, Amerika. Menurut Budiman, 6 bulan lalu Karim pernah datang ke Harrisburg, dan bertemu dengan Tgk Musanna Abdul Wahab, Tgk Zahizi, Mahfudh Usman Lampoh Awe, dan lain-lain. “Lon deungo terakhir jih hana galak meusangkot paot politek di Aceh,” kata Budiman.
Pun begitu, katanya, cerita soal Karim M Tiro sering didengarnya. Budiman mengaku, dua hari lalu, Kamis (/6), Mahfud Usman Lampoh Awe pernah menghubungi Karim dan mengabarkan meninggalnya Wali. Mahfud ini adalah putra Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, mentari keuangan GAM dalam kabinet Hasan Tiro. Kini sudah almarhum.
Iya, kini sepeninggalan Tiro, nama Karim mencuat ke permukaan: Setidaknya, ada dua sebab: karena orang-orang pada penasaran; juga karena mereka kecewa.
Penasaran karena, selama puluhan tahun masyarakat tak pernah melihat sosoknya secara langsung dan nyata. Foto dirinya juga terbatas, termasuk arsip di internet. Kisah tentangnya begitu tertutup dan misterius, kecuali beberapa dokumen dari Universitas tempatnya mengabdikan diri sebagai asisten profesor ilmu sejarah di Xavier University.
Hasan Tiro, Zaini Abdullah, dan Karim Tiro |
Asnawi Ali, warga Aceh yang lama bermukim di Swedia, bercerita jika Karim itu sosok yang paling pelit bicara. “Meuri that dijaga jarak,” ujarnya tanpa menjelaskan detailnya seperti apa. Menurut Asnawi, komentar-komentar yang dikirim melalui email, pernyataan Karim sangat normatif. “Meuri hati-hati that dipeuteubit narit,” lanjutnya sembari menambahkan pasca MoU Helsinki Karim hampir tak pernah berkomunikasi lagi dengan Tiro. Jika pun ada komunikasi dengan Karim, katanya, Tiro sering mewakilkan melalui orang dekatnya. Asnawi membenarkan jika sosok Karim memang sangat misterius.
Karim dikenal pakar dalam bidang sejarah, terutama sejarah Amerika. Pun demikian, Karim tak memilih Aceh sebagai objek kajian akademisnya seperti halnya sang ayah. Karim memilih meneliti soal sejarah Amerika abad 16 hingga 18. Jangan heran, jika kita tak pernah temukan tulisan-tulisan dia mengenai sejarah Aceh. Dalam biografi singkat seperti dimuat di website Xavier University, Karim mengakui tertarik meneliti soal sejarah perang Amerika yang jarang dikenal dan jadi perhatian akademisi, khususnya Perang 1812, Perang Meksiko dan Perang Spanyol-Amerika.
“Sengaja jih dijaga jarak dan dueh don’t care about Aceh (tidak peduli tentang Aceh),” kata Asnawi dalam bahasa Aceh bercampur Inggris.
Keterangan Asnawi ini hampir sama dengan keterangan yang disampaikan Budiman, orang Aceh yang tinggal di Washington, Amerika. Menurut Budiman, 6 bulan lalu Karim pernah datang ke Harrisburg, dan bertemu dengan Tgk Musanna Abdul Wahab, Tgk Zahizi, Mahfudh Usman Lampoh Awe, dan lain-lain. “Lon deungo terakhir jih hana galak meusangkot paot politek di Aceh,” kata Budiman.
Karim Tiro diskusi dengan mahasiswa Xavier University |
Saat berbicara melalui telepon dengan Mahfud, cerita Budiman, Karim mengaku sangat berduka. Namun, saat itu Karim tak bisa menjanjikan apakah bisa pulang ke Aceh atau tidak.
Ketika ditanya bagaimana perasaan orang Aceh di Amerika mendengar Tiro meninggal, Budiman mengatakan, orang Aceh sangat berduka dan merasa kehilangan. Rencananya, lanjut Budiman, orang Aceh di sana akan menggelar tahlilan untuk Wali, sebutan Tiro di kalangan anak buahnya. Budiman mengaku akan berangkat ke tempat tahlilan bersama Mahfud.
Asnawi juga mendapat kabar jika Karim sangat berduka dengan berita meninggalnya Wali Nanggroe yang juga orang tuanya itu. “Memang berduka tapi hana meujan diwo,” jawabnya yang mengaku sudah mengirim email kepada Karim. “Lon tanyong bak email pajan diwoe, hana dijaweub. Tatanyong laen dijaweub laen,” lanjutnya.
Asnawi kemudian mengirimkan alamat lengkap Karim yaitu di Xavier University 3800 Victory Parkway Cincinnati, OH 45207-4444 USA, plus email:tiro@xavier.edu. Asnawi sengaja meminta Harian Aceh menghubungi Karim langsung via email, siapa tahu mau menjawab. “Aci tes kirém email dari sinan....peuë keuh ditém jaweub meunyo neutanyong pajan diwoe atawa pue na rencana woe?” saran Asnawi pada Harian Aceh melalui layanan chatting Facebook, Sabtu (5/6).
Sebelumnya, Harian Aceh sudah beberapa kali mengirim email untuk Karim, pertama menggunakan bahasan Indonesia, tak ada balasan. Menurut Asnawi, Karim tidak bisa berbahasa Indonesia. Harian Aceh kemudian mengirim email dengan menggunakan bahasa Inggris menanyakan keadaannya termasuk rencana kepulangannya ke Aceh. Tapi ditunggu beberapa hari tak ada balasan. Malah, email yang dikirim sepertinya ditolak oleh sistem.
“Oo...sang ka ditop email, di teupeuë ramé yg mita jih,” kata Asnawi saat diberi tahu bahwa email yang dikirim Harian Aceh tidak terkirim, meski alamat emailnya sudah benar seperti yang tercatat di Xavier University.
Memang, sejak kondisi kesehatan Wali memburuk, sosok Karim jadi begitu penting. Orang-orang ingin tahu bagaimana sikapnya, apakah akan pulang ke Aceh atau tidak. Selain itu, orang-orang bertanya-tanya bagaimana kelanjutan dinasti Tiro sepeninggalan Wali. Namun, dalam sejumlah pernyataan seperti dikutip koran lokal, Karim sepertinya enggan menggantikan posisi Wali.
Asnawi juga bercerita, jika Karim sebelumnnya pernah berkunjung ke Swedia, tempat dimana Wali menetap. “Lôn deungo-deungo na, tapi katrép, seugolom lôn teuka u Sweden nyoe,” katanya. “Awak awai mungkén leubèh teupeuë,”sambungnya.
Wali sendiri, punya cerita soal anak semata wayangnya. Dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, Wali menulis jika anak semata wayangnya, Karim, seorang yang cukup ganteng dan cerdas. Sementara istrinya, Dora, disebutnya sangat cantik.
Tiro bercerita, bahwa dirinya cukup berat meninggalkan keduanya di tengah keramaian Kota New York yang tak henti berdenyut. Namun, Tiro harus menunaikan nazarnya yang diucapkan saat melakukan perjalanan meneliti satu kawasan di Oregon, Amerika. Saat itu, Tiro bernazar kepada Allah jika ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah, dirinya akan pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, atau bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46.
Ketika ditanya bagaimana perasaan orang Aceh di Amerika mendengar Tiro meninggal, Budiman mengatakan, orang Aceh sangat berduka dan merasa kehilangan. Rencananya, lanjut Budiman, orang Aceh di sana akan menggelar tahlilan untuk Wali, sebutan Tiro di kalangan anak buahnya. Budiman mengaku akan berangkat ke tempat tahlilan bersama Mahfud.
Asnawi juga mendapat kabar jika Karim sangat berduka dengan berita meninggalnya Wali Nanggroe yang juga orang tuanya itu. “Memang berduka tapi hana meujan diwo,” jawabnya yang mengaku sudah mengirim email kepada Karim. “Lon tanyong bak email pajan diwoe, hana dijaweub. Tatanyong laen dijaweub laen,” lanjutnya.
Asnawi kemudian mengirimkan alamat lengkap Karim yaitu di Xavier University 3800 Victory Parkway Cincinnati, OH 45207-4444 USA, plus email:tiro@xavier.edu. Asnawi sengaja meminta Harian Aceh menghubungi Karim langsung via email, siapa tahu mau menjawab. “Aci tes kirém email dari sinan....peuë keuh ditém jaweub meunyo neutanyong pajan diwoe atawa pue na rencana woe?” saran Asnawi pada Harian Aceh melalui layanan chatting Facebook, Sabtu (5/6).
Sebelumnya, Harian Aceh sudah beberapa kali mengirim email untuk Karim, pertama menggunakan bahasan Indonesia, tak ada balasan. Menurut Asnawi, Karim tidak bisa berbahasa Indonesia. Harian Aceh kemudian mengirim email dengan menggunakan bahasa Inggris menanyakan keadaannya termasuk rencana kepulangannya ke Aceh. Tapi ditunggu beberapa hari tak ada balasan. Malah, email yang dikirim sepertinya ditolak oleh sistem.
“Oo...sang ka ditop email, di teupeuë ramé yg mita jih,” kata Asnawi saat diberi tahu bahwa email yang dikirim Harian Aceh tidak terkirim, meski alamat emailnya sudah benar seperti yang tercatat di Xavier University.
Memang, sejak kondisi kesehatan Wali memburuk, sosok Karim jadi begitu penting. Orang-orang ingin tahu bagaimana sikapnya, apakah akan pulang ke Aceh atau tidak. Selain itu, orang-orang bertanya-tanya bagaimana kelanjutan dinasti Tiro sepeninggalan Wali. Namun, dalam sejumlah pernyataan seperti dikutip koran lokal, Karim sepertinya enggan menggantikan posisi Wali.
Asnawi juga bercerita, jika Karim sebelumnnya pernah berkunjung ke Swedia, tempat dimana Wali menetap. “Lôn deungo-deungo na, tapi katrép, seugolom lôn teuka u Sweden nyoe,” katanya. “Awak awai mungkén leubèh teupeuë,”sambungnya.
Wali sendiri, punya cerita soal anak semata wayangnya. Dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, Wali menulis jika anak semata wayangnya, Karim, seorang yang cukup ganteng dan cerdas. Sementara istrinya, Dora, disebutnya sangat cantik.
Tiro bercerita, bahwa dirinya cukup berat meninggalkan keduanya di tengah keramaian Kota New York yang tak henti berdenyut. Namun, Tiro harus menunaikan nazarnya yang diucapkan saat melakukan perjalanan meneliti satu kawasan di Oregon, Amerika. Saat itu, Tiro bernazar kepada Allah jika ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah, dirinya akan pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, atau bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46.
Dalam buku catatan hariannya yang tak selesai itu, Hasan Tiro menulis, dia dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Malah, tulisnya, akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.
Seperti kita tahu kemudian, Tiro memilih pulang ke Aceh. Tiro memilih meninggalkan bocah laki-lakinya, Karim, yang saat itu berusia 6 tahun dan juga istrinya, Dora. Dalam buku yang awalnya berbentuk stensilan itu, Tiro menulis, sepanjang perjalanan dari Amerika ke Aceh, wajah anak dan sang istri selalu membayang dan tak hilang dari pandangan. Tiro membayangkan bagaimana sepinya hidup Dora, gadis Amerika keturunan Timur Tengah yang sudah memberinya seorang anak laki-laki.
Tiro menulis, saat pesawat yang membawanya semakin dekat dengan Aceh, perasaannya galau, sedih dan juga dibalut emosional. Untuk menghapus wajah anak dan istrinya, Tiro mencoba melihat keluar jendela pesawat. Ia pun teringat mati. Diakuinya, Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa dan terpisah dengan Karim dan Dora, tapi yang lebih ditakutkan, ia belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.
Karim cukup terkesan bagi Tiro. Ketika Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim. Tiro menulis, bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun.
Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pusat perhatian orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain.
Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Tiro, dalam diarynya.
Hanya kisah-kisah itu yang diketahui secara luas di Aceh, selebihnya gelap. Satu-satunya informasi soal Karim kini bisa diakses melalui website Xavier University, itu pun berisi biografi singkat, termasuk karyanya. Sosoknya benar-benar misterius, semisterius kisahnya. Mungkin ceritanya akan beda, jika Karim Tiro memilih pulang ke Aceh. Tapi, entah kapan...!
Seperti kita tahu kemudian, Tiro memilih pulang ke Aceh. Tiro memilih meninggalkan bocah laki-lakinya, Karim, yang saat itu berusia 6 tahun dan juga istrinya, Dora. Dalam buku yang awalnya berbentuk stensilan itu, Tiro menulis, sepanjang perjalanan dari Amerika ke Aceh, wajah anak dan sang istri selalu membayang dan tak hilang dari pandangan. Tiro membayangkan bagaimana sepinya hidup Dora, gadis Amerika keturunan Timur Tengah yang sudah memberinya seorang anak laki-laki.
Tiro menulis, saat pesawat yang membawanya semakin dekat dengan Aceh, perasaannya galau, sedih dan juga dibalut emosional. Untuk menghapus wajah anak dan istrinya, Tiro mencoba melihat keluar jendela pesawat. Ia pun teringat mati. Diakuinya, Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa dan terpisah dengan Karim dan Dora, tapi yang lebih ditakutkan, ia belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.
Karim cukup terkesan bagi Tiro. Ketika Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim. Tiro menulis, bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun.
Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pusat perhatian orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain.
Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Tiro, dalam diarynya.
Hanya kisah-kisah itu yang diketahui secara luas di Aceh, selebihnya gelap. Satu-satunya informasi soal Karim kini bisa diakses melalui website Xavier University, itu pun berisi biografi singkat, termasuk karyanya. Sosoknya benar-benar misterius, semisterius kisahnya. Mungkin ceritanya akan beda, jika Karim Tiro memilih pulang ke Aceh. Tapi, entah kapan...!