Terus terang, setiba di imigrasi Singapore, perasaan saya tidak enak. Biasanya jika sudah ada perasaan tidak enak, pasti akan terjadi sesuatu. Kawan saya ternyata juga merasakan hal demikian. Pun begitu, seolah tanpa beban saya menyerahkan pasport ke petugas imigrasi saat diminta mendekat. Kebetulan yang di loket itu seorang cewek, tubuhnya gempal dan dari wajahnya menunjukkan jika dia beretnis China. Saya merasa lega karena biasanya lebih gampang jika pemeriksanya seorang cewek.
--->Sebelumnya Semalam di Singapore (1)
Setelah pasport saya dipegang dan discan di mesin, muncul masalah. Tak bisa discan dan tak keluar previewnya. Si cewek itu kemudian bertanya, apakah itu pasport baru? Saya jawab 'ya'. Saya kemudian diminta masuk ke dalam ruangan yang berada tak jauh dari situ, di sebelah kanan. Setelah pasport saya diambil, saya dipersilakan menunggu di luar, kebetulan ada bangku kosong di sana, khusus untuk tempat duduk. Dua petugas berbaju preman mendekat. Dari gayanya saya bisa menebak jika mereka dari personil intelijen.
Mulailah saya ditanya macam-macam. Mulai apa pekerjaan, untuk apa ke Singapore, menginap dimana di Singapore, kemana saja nanti akan pergi ketika sudah di Singapore, dan selama di Malaysia tempo hari saya ngapain aja. Sementara seorang lagi juga melakukan hal yang sama pada kawan saya.
Setelah merasa cukup mereka pun masuk kembali ke ruangan. Tak lama kemudian, kedua orang itu balik lagi dan menginterogasi kami secara bergantian. Mereka sepertinya ingin mencocokkan keterangan yang saya berikan dengan keterangan kawan saya.
Saya merasakan kondisi itu mirip saat Aceh masih dibalut konflik, terutama saat kita ditangkap petugas. Namun, karena merasa tidak bersalah, saya mencoba untuk santai. Kemudian saya dipanggil ke dalam. Ada seorang petugas yang duduk di depan komputer, tak henti-hentinya memperhatikan mimik wajah saya, setiap kali mengajukan pertanyaan. Tak jauh dari meja itu, ada beberapa petugas Imigrasi termasuk beberapa yang berpakaian preman ikut menimpali dan bertanya, saat petugas yang di depan komputer asyik mencocokkan identitas saya dengan yang ada di komputer mereka. Entah apa yang mereka lakukan.
Teman-teman yang menghadapi hal serupa mungkin bisa merasakan bagaimana posisi kita saat diinterogasi tersebut. Apalagi bahasa Inggris saya pas-pasan (untuk tidak mengatakan jelek), dan bahasa Melayu yang patah-patah. Pernah saya menjawab menggunakan bahasa Inggris yang sudah saya bagus-bagusin. Tapi petugas dari etnis Melayu (saya tahu karena dia sendiri yang memperkenalkan diri), bilang: "Bicara bahaya Melayu saja tak benar, pake bahasa Inggris pula (begitu kira-kira, terjemahan yang benar), nanti saya tanya dengan bahasa Inggris kamu tidak tahu harus menjawab apa."
Saya kemudian diam saja dan memperhatikan cara kerja mereka. Petugas yang berada di depan komputer, dengan kacamatanya yang sudah minus berapa, bertanya kepada saya berapa uang yang saya bawa untuk pergi ke Singapore. Saya mencoba menjawab jujur, bahwa saya mengantongi 500 USD Singapore (karena cuma sehari), dan mengaku dalam kartu kredit ada beberapa dana lagi (padahal itu kartu PermataBank yang bisa digunakan sebagai kartu kredit).
Tak lama kemudian, saya diminta masuk ke ruang di sebelahnya lagi. Di ruang itu, saya diambil sidik jari. Karena terlalu tegang hingga saya berkeringat dingin. Beberapa diambil sidik jari saya tak keluar di mesin itu. Kemudian saya dikasih tissu, barulah mereka bisa mengambil semua sidik jari saya. Sepertinya, saat itu saya menjadi orang yang begitu berbahaya. Setelah diambil sidik jari, saya dipersilahkan keluar bersama pasport yang sudah dibuat catatan dan diantar seorang petugas. Pasport saya kemudian baru diberi cap Singapore (jujur saya hanya ingin pasport saya bisa dicap).
Tapi, sebelum meninggalkan Imigrasi itu, tas saya sempat dibuka dan dilihat isinya. Setelah saya beritahu bahwa hanya ada Laptop dan baju, baru diminta untuk menutup kembali. Saya mencatat ada sekitar 20 menit saya dalam pemeriksaan. Sementara pihak kereta api masih menunggu di luar. Ternyata hanya tinggal kami di Imigrasi itu. Oleh petugas yang mirip intel itu, kami diminta untuk lari agar tidak tinggal kereta (hehehe, lucu).
Begitu mencapai kereta, kami mencari tempat duduk seperti tertera di tiket. Ternyata sudah ada penumpang lain yang duduk di tempat kami duduk, yang ternyata wajahnya beretnis China. Karena banyak tempat masih kosong, kami tak selera mendebat, apalagi di negeri orang. Kami duduk dengan perasaan lega karena sebentar lagi kami sudah tiba di Singapore. Hanya hitungan menit, kereta yang kami tumpangi berhenti di Stasion Tanjung Pagar.
Jam di dinding Stasion tersebut menunjukkan pukul 22 (pukul 10 malam) kurang. Kami segera keluar, dan mengikuti satu rombongan bule. Terus terang kami tak begitu tahu tentang Singapore, dan jujur nama Kota-kota penting di Singapore tak kami catat. Ternyata bule itu hilang ketika menyeberang jalan, sekitar 400 meter dari Stasion. Kami kemudian bingung mau kemana...ada satu halte di situ. Kami mencoba memahami peta yang ada di Halte itu, ternyata membuat kami tambah bingung. Sudah kami coba bertanya pada seorang cewek yang menunggu di Halte itu, tapi sebelum kami habis bertanya, dia sudah naik bus. Jadilah kami tambah bengong.
Kami kemudian balik lagi ke Stasion Tanjung Pagar untuk mencari Taksi. Tapi, kami tak tahu mau pergi kemana. Kebetulan sisa pulsa yang masih di Hp saya gunakan untuk mengontak kawan-kawan di Facebook, beruntung ada seseorang yang membalas, dan mengabari agar kami ke Marina Bay, City Hall atau Orchad. Kami kemudian menunggu taksi, setelah terlebih dulu bertanya pada orang yang duduk di luar Stasion.
Setelah tahu beberapa ongkos taksi, kami kemudian menunggu di pinggir jalan. Tak berapa lama, sebuah taksi berhenti. Setelah kami kasih tahu tujuan kami kemana, kami pun dipersilahkan naik. Mesin argo pun dihidupkan, saya lupa mencatat berapa harga pertama naik. Dalam taksi, saya dan kawan saya asyik melihat pemandangan malam di Singapore dengan gedung-gedung pencakar langit. Tak ada perkampungan di sana. Malam begitu indah. Kami bagai berada di kota Impian dan menghayal kapan Aceh bisa seperti Singapore? --> Bersambung
Di dekat patung Merlion |
Setelah pasport saya dipegang dan discan di mesin, muncul masalah. Tak bisa discan dan tak keluar previewnya. Si cewek itu kemudian bertanya, apakah itu pasport baru? Saya jawab 'ya'. Saya kemudian diminta masuk ke dalam ruangan yang berada tak jauh dari situ, di sebelah kanan. Setelah pasport saya diambil, saya dipersilakan menunggu di luar, kebetulan ada bangku kosong di sana, khusus untuk tempat duduk. Dua petugas berbaju preman mendekat. Dari gayanya saya bisa menebak jika mereka dari personil intelijen.
Mulailah saya ditanya macam-macam. Mulai apa pekerjaan, untuk apa ke Singapore, menginap dimana di Singapore, kemana saja nanti akan pergi ketika sudah di Singapore, dan selama di Malaysia tempo hari saya ngapain aja. Sementara seorang lagi juga melakukan hal yang sama pada kawan saya.
Setelah merasa cukup mereka pun masuk kembali ke ruangan. Tak lama kemudian, kedua orang itu balik lagi dan menginterogasi kami secara bergantian. Mereka sepertinya ingin mencocokkan keterangan yang saya berikan dengan keterangan kawan saya.
Saya merasakan kondisi itu mirip saat Aceh masih dibalut konflik, terutama saat kita ditangkap petugas. Namun, karena merasa tidak bersalah, saya mencoba untuk santai. Kemudian saya dipanggil ke dalam. Ada seorang petugas yang duduk di depan komputer, tak henti-hentinya memperhatikan mimik wajah saya, setiap kali mengajukan pertanyaan. Tak jauh dari meja itu, ada beberapa petugas Imigrasi termasuk beberapa yang berpakaian preman ikut menimpali dan bertanya, saat petugas yang di depan komputer asyik mencocokkan identitas saya dengan yang ada di komputer mereka. Entah apa yang mereka lakukan.
Teman-teman yang menghadapi hal serupa mungkin bisa merasakan bagaimana posisi kita saat diinterogasi tersebut. Apalagi bahasa Inggris saya pas-pasan (untuk tidak mengatakan jelek), dan bahasa Melayu yang patah-patah. Pernah saya menjawab menggunakan bahasa Inggris yang sudah saya bagus-bagusin. Tapi petugas dari etnis Melayu (saya tahu karena dia sendiri yang memperkenalkan diri), bilang: "Bicara bahaya Melayu saja tak benar, pake bahasa Inggris pula (begitu kira-kira, terjemahan yang benar), nanti saya tanya dengan bahasa Inggris kamu tidak tahu harus menjawab apa."
Saya kemudian diam saja dan memperhatikan cara kerja mereka. Petugas yang berada di depan komputer, dengan kacamatanya yang sudah minus berapa, bertanya kepada saya berapa uang yang saya bawa untuk pergi ke Singapore. Saya mencoba menjawab jujur, bahwa saya mengantongi 500 USD Singapore (karena cuma sehari), dan mengaku dalam kartu kredit ada beberapa dana lagi (padahal itu kartu PermataBank yang bisa digunakan sebagai kartu kredit).
Tak lama kemudian, saya diminta masuk ke ruang di sebelahnya lagi. Di ruang itu, saya diambil sidik jari. Karena terlalu tegang hingga saya berkeringat dingin. Beberapa diambil sidik jari saya tak keluar di mesin itu. Kemudian saya dikasih tissu, barulah mereka bisa mengambil semua sidik jari saya. Sepertinya, saat itu saya menjadi orang yang begitu berbahaya. Setelah diambil sidik jari, saya dipersilahkan keluar bersama pasport yang sudah dibuat catatan dan diantar seorang petugas. Pasport saya kemudian baru diberi cap Singapore (jujur saya hanya ingin pasport saya bisa dicap).
Tapi, sebelum meninggalkan Imigrasi itu, tas saya sempat dibuka dan dilihat isinya. Setelah saya beritahu bahwa hanya ada Laptop dan baju, baru diminta untuk menutup kembali. Saya mencatat ada sekitar 20 menit saya dalam pemeriksaan. Sementara pihak kereta api masih menunggu di luar. Ternyata hanya tinggal kami di Imigrasi itu. Oleh petugas yang mirip intel itu, kami diminta untuk lari agar tidak tinggal kereta (hehehe, lucu).
Begitu mencapai kereta, kami mencari tempat duduk seperti tertera di tiket. Ternyata sudah ada penumpang lain yang duduk di tempat kami duduk, yang ternyata wajahnya beretnis China. Karena banyak tempat masih kosong, kami tak selera mendebat, apalagi di negeri orang. Kami duduk dengan perasaan lega karena sebentar lagi kami sudah tiba di Singapore. Hanya hitungan menit, kereta yang kami tumpangi berhenti di Stasion Tanjung Pagar.
Jam di dinding Stasion tersebut menunjukkan pukul 22 (pukul 10 malam) kurang. Kami segera keluar, dan mengikuti satu rombongan bule. Terus terang kami tak begitu tahu tentang Singapore, dan jujur nama Kota-kota penting di Singapore tak kami catat. Ternyata bule itu hilang ketika menyeberang jalan, sekitar 400 meter dari Stasion. Kami kemudian bingung mau kemana...ada satu halte di situ. Kami mencoba memahami peta yang ada di Halte itu, ternyata membuat kami tambah bingung. Sudah kami coba bertanya pada seorang cewek yang menunggu di Halte itu, tapi sebelum kami habis bertanya, dia sudah naik bus. Jadilah kami tambah bengong.
Kami kemudian balik lagi ke Stasion Tanjung Pagar untuk mencari Taksi. Tapi, kami tak tahu mau pergi kemana. Kebetulan sisa pulsa yang masih di Hp saya gunakan untuk mengontak kawan-kawan di Facebook, beruntung ada seseorang yang membalas, dan mengabari agar kami ke Marina Bay, City Hall atau Orchad. Kami kemudian menunggu taksi, setelah terlebih dulu bertanya pada orang yang duduk di luar Stasion.
Setelah tahu beberapa ongkos taksi, kami kemudian menunggu di pinggir jalan. Tak berapa lama, sebuah taksi berhenti. Setelah kami kasih tahu tujuan kami kemana, kami pun dipersilahkan naik. Mesin argo pun dihidupkan, saya lupa mencatat berapa harga pertama naik. Dalam taksi, saya dan kawan saya asyik melihat pemandangan malam di Singapore dengan gedung-gedung pencakar langit. Tak ada perkampungan di sana. Malam begitu indah. Kami bagai berada di kota Impian dan menghayal kapan Aceh bisa seperti Singapore? --> Bersambung
Tags:
Traveling