Di dalam taxi,
mata kami berdua tak sedetikpun terpejam. Terlalu indah untuk dilewatkan.
Singapore begitu gemerlap. Bagi kami yang pertama kali berkunjung ke Singapore
tentu saja apa yang kami lihat itu benar-benar menyihir. Dalam hati, saya
sempat bergumam, kapan bisa kembali lagi ke sini? Kami tak menghayal yang
muluk-muluk, bahwa Aceh harus seperti Singapore, meski dilihat dari letak
geografis dan hasil alam, Aceh bisa dibangun melebihi Singapore.
Sebelumnya Semalam di Singapore (2)
Tak terasa, taxi yang kami tumpangi memasuki kawasan Marina. Di beberapa persimpangan yang sempat kami baca, menunjukkan bahwa kami benar-benar sudah berada di kawasan Marina. Namun, kami baru pertama kali berkunjung, kami tidak tahu harus turun di mana. Tak ada keramaian di situ. Bangunan yang kami lihat kebanyakan seperti apartemen, gedung pemerintahan dan gedung-gedung pencakar langit lainnya. Kami pun bingung. Sopir taxi kemudian memberitahukan bahwa kami sudah berada di Marina Bay.
Tak terasa, taxi yang kami tumpangi memasuki kawasan Marina. Di beberapa persimpangan yang sempat kami baca, menunjukkan bahwa kami benar-benar sudah berada di kawasan Marina. Namun, kami baru pertama kali berkunjung, kami tidak tahu harus turun di mana. Tak ada keramaian di situ. Bangunan yang kami lihat kebanyakan seperti apartemen, gedung pemerintahan dan gedung-gedung pencakar langit lainnya. Kami pun bingung. Sopir taxi kemudian memberitahukan bahwa kami sudah berada di Marina Bay.
Melihat kami
hanya diam saja, si sopir pun kemudian bicara lebih keras. “Kita sudah sampai
marina bay, turun di mana?” tanyanya (ini sudah saya terjemahkan, hehehe). Di
tengah keterkejutan itu, kami menjawab, bahwa tujuan kami Marina Bay. Entah
kesal dengan kebodohan kami atau memang wataknya yang seolah-olah superior karena
berhadapan dengan kami yang dari Aceh, si sopir seperti membentak, “Many-many
marina bay…” dengan gerak-gerik tangan menunjuk ke segala arah. Saya tak
memperhatikannya, tapi membuka kembali pesan di Hp. Kemudian saya tunjukkan ke
muka sopir. Dia geleng-geleng kepala, sambil berucap bahwa kami sudah sampai di
marina bay.
Kami pun tak
hilang akal, meski sudah melewati perjalanan selama delapan jam dari Kajang ke
Singapore. Saya baca kembali pesan di Hp dan kemudian memberitahu bahwa kami
mau diantar ke Hall City (dalam hati kami yakin bahwa Hall City pasti seperti
kota kebanyakan, ada pusat perbelanjaan yang buka hingga larut malam dan ada
tempat nongkrong). Si sopir kemudian memastikan apakah kami benar-benar mau ke
Hall City. Kami berdua langsung mengiyakan.
Taxi pun
kemudian putar haluan. Kami tak lagi mendengar suara si sopir, dia pun
sepertinya sibuk sendiri (atau berpikir bahwa kami berdua yang menumpangi
taxinya benar-benar orang kampung yang kesasar di Kota seperti Singapore). Di
kiri-kanan kami, kelap-kelip lampu dari bangunan-bangunan megah menyilaukan
mata. Sebagian sempat kami baca tulisan yang terbentuk dari lampu-lampu itu.
Tapi kebanyakan kami mengabaikannya karena tulisannya dalam bahasa China. Bukan
mau menyombongkan diri, jika kami benar-benar memang tak mengerti bahasa langit
itu. Hehehe (logika kalimatnya nggak masuk ya).
Terus terang,
sebenarnya kami berdua sudah lapar banget, tapi karena masih penasaran dengan
Singapore, rasa lapar itu pun hilang. Ada satu tekad dalam hati kami masing-masing,
bahwa meski kami berasal dari kampung, kami tak mau kelihatan kampungan. Ada
rasa bangga dalam diri kami bahwa jika Aceh mampu diurus dengan lebih baik,
tentu kita bisa mengalahkan Singapore yang kecil ini. Hehehe. Malam ini juga
kami berdua harus menaklukkan Singapore (dalam pengertian bahwa kami tak
terkesan bodoh berada di kota besar itu).
Taxi terus
melaju. Kami berdua larut dalam pikiran masing-masing. Tak begitu lama
kemudian, si sopir taxi bilang bahwa kami sudah memasuki kawasan Hall City. Kami
berdua yang dari tadi asyik melihat keluar, melihat banyak ada muda yang lagi
nongkrong di pinggir jalan, di pinggir lapangan dan di atas trotoar sambil
bermain sepadu roda. Setelah membayar seperti yang tertulis di Argometer, kami
pun turun.
Kami mencoba
bergaya bahwa kami bukan berasal dari kampung. Biar tak kelihatan kaku, kami
pura-pura jalan cepat dan mencoba bercanda seadanya. Mata kami berdua tak
henti-hentinya melihat kawanan orang-orang yang nongkrong, apalagi terdapat
cewek yang berpakain mini dan seksi. Inilah godaan pertama. Kami tak mau
munafik, bahwa pemandangan ini sangat kami nikmati.
“Nyoe ho tajak
pon (Sekarang mau kemana kita Pon)?” tanya saya sama T. Irwani yang sepertinya
baru melihat orang bermain sepatu roda.
“Kita cari
makan dulu, sudah lapar,” jawabnya singkat. Kami pun berjalan memotong lapangan
yang terletak di depan gedung dewan Singapore, karena dari kejauhan kami
melihat ada yang mirip mall. Benar saja, bahwa itu adalah mall, begitu kami
sudah berada di dalam. Kami berjalan terus menerus, sambil tak pernah lepas
memandang orang-orang yang lewat di depan kami. Terus terang, entah itu rezeki
untuk kami atau memang di Singapore itu hal biasa, semua cewek yang kami temui
benar-benar seksi dengan pakaian yang keliatan belahan dadanya. Kalau mereka
tak pakai Bra, mungkin ‘barang’nya sudah terbang kemana-mana dan mengenai
kepala orang.hehehe.
Sebelum turun
lift yang menuju ke tempat karoeke, kawan saya memberitahu mau ke toilet karena
di sebelah kiri lift turun itu terdapat toilet. Saya langsung turun
mencoba-coba lihat keadaan di bawah. Saya terus berjalan, dan tak terasa bahwa
di depan saya sudah terpampang semacam danau, di mana orang-orang ramai
nongkrong di tempat santai yang khusus disediakan. Tak lama kemudian muncul
kawan saya dengan nafas yang terengah-engah. Mungkin capai atau kebingungan
mencari saya yang terus berjalan (meski tak tahu kemana-mana). -->Bersambung
Tags:
Traveling