Masa-masa produktif
saya menulis berantakan. Hal ini terjadi saat Pemerintah Republik Indonesia
(Negara kita) memaklumkan perang, Darurat Militer, terhadap Aceh, pada 19 Mei
2003. Bukan hanya petaka bagi masyarakat Aceh, Gerakan Aceh Merdeka, dan para aktivis
melainkan juga bagi penulis kritis. Media-media juga dituntut untuk bersikap
patriotik dan nasionalis. Dalam bahasa sederhana, siapa pun saat itu diberi dua
pilihan: ikut kami atau mereka. Ikut kami berarti akan selamat, sementara jika
memilih ikut mereka (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) risikonya akan diburu,
ditangkap, dan dibunuh! Semua orang, baik di Aceh maupun luar Aceh harus
memilih satu dari dua pilihan itu.
Saat itu,
sebenarnya, produktivitas saya menulis sedang meningkat. Meski belum ada laptop
seperti sekarang, kegiatan menulis sangat berkembang. Karena saya memanfaatkan
komputer di kantor Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk menulis. Lagi
pula, kantor itu tiap hari langganan Serambi Indonesia, Waspada, Kompas atau
Koran Tempo. Benar-benar sangat mendukung aktivitas saya menulis dan menambah
pengetahuan. Tapi, Darurat Militer pula yang membuat kantor itu harus tutup.
Kosong. Sepi. Tak lagi berdenyut seperti sebelumnya.
Tanda-tanda kantor
perjuangan referendum itu mencekam sebenarnya sudah terlihat sejak penangkapan
Muhammad Nazar (Ketua Presidium SIRA) beberapa waktu sebelumnya. Pasalnya,
selepas penangkapan itu, orang-orang asing dengan gelagat mencurigakan sering
pura-pura salah jalan, mondar-mandir di simpang jalan masuk. Sampai ada orang
yang tiap hari duduk di toko depan seperti sedang menunggu sesuatu. Saya dan
beberapa teman kemudian lebih sering menginap di kampus. Sesekali bolak-balik
Darussalam-Kota.
Tapi, hanya
beberapa hari kami menikmati hidup pasca DM diumumkan. Karena pada hari kelima
DM, kami berpencar-pencar. Apalagi pasca-penangkapan beberapa orang teman di
Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) IAIN Ar Raniry, di antaranya M Rizal Falevi.
Selepas itu, saya tak pernah muncul lagi ke kampus. Berpindah dari satu
tempat-ke-tempat lain. Menginap di tempat saudara di Jln Diponegoro, di kantor
Pemraka Kp Laksana, dan akhirnya terdampar di ISKADA Masjid Raya Banda Aceh.
Saya pun memulai
hidup baru dengan gaya berbeda. Saya seperti kembali ke habitat. Lebih alim.
Shalat berjamaah jarang tinggal. Waktu lebih banyak saya habiskan di ruang
pustaka Masjid Raya. Dari pagi sampai menjelang dhuhur. Selepas dhuhur hingga
menjelang ashar. Begitu siklus setiap hari. Sesekali saya menghabiskan waktu
dengan bermain internet di Jalan Mohd Jam (nama warnetnya Metropolis). Untuk
menulis, saya biasa memanfaatkan komputer di Iskada. Kadang-kadang pakai
komputer Tabloid Gema Baiturrahman. Kedua komputer ini tak ada yang terhubung
ke internet. Sehingga, tiap selesai menulis tak bisa langsung kita kirim ke
media. Jadi, disket (ada yang menyebut floppy disk) memegang perang amat
penting ketika itu. Tiap selesai mengetik, saya pasti menyimpannya ke disket.
Termasuk tulisan yang tak selesai.
Meski hidup
berantakan, saya tetap menulis. Beberapa tulisan yang sedang aktual dan menarik
saya sempatkan mengirim ke Serambi dan media-media lain. Sejak itu pula saya
mencoba mengirim tulisan ke Kompas. Selain untuk melawan wacana pemerintah
tentang propaganda negative terhadap perjuangan Aceh, juga dilandasi oleh
honor. Ini wajar karena hidup sangat pedih waktu itu: tinggal di masjid!
Beberapa tulisan saya sempat dimuat di Serambi. Satu tulisan yang saya ingat
berjudul ‘Di Balik Penangkapan William Nessen’. Tulisan ini kalau tidak
salah dimuat antara 11 atau 12 Juni 2003.
Tulisan-tulisan
yang dimuat di Serambi itu punya peran penting: cara berkomunikasi dengan
teman, keluarga dan sahabat. Sebab, saat itu Handphone masih menjadi barang
mewah. Hanya beberapa orang saja yang memilikinya. Jadi, untuk komunikasi jika
tak lewat email (chatting di YM) ya harus bertemu langsung. Melalui tulisan
saya mengabarkan pada teman-teman (termasuk keluarga) bahwa saya masih hidup
dan dalam kondisi sehat. Tulisan saya itu kadang mendapat ‘protes’ dari teman.
“Ka peugah bak si Mubarak, bek that kabri
teumuleh dile bak Serambi. Nan jih sep brat ditanyong,” pesan Falevi pada teman yang menjenguknya.
Ini sangat wajar, karena dalam pemeriksaan, dia mengaku sudah putus komunikasi
dengan saya, dan dia sama sekali tidak tahu di mana posisi saya. Malah, dia
pernah bilang saya dan beberapa teman lain sudah meninggal. Hahaha.
Apakah
tulisan-tulisan yang dimuat itu saya ambil honor? Sama sekali tidak. Menurut
teman-teman, ada beberapa wesel yang dikirim ke kampus (Fakultas Dakwah IAIN Ar
Raniry). Wesel itu digantungkan di papan pengumuman kampus. Teman-teman tak ada
yang berani ambil. Mereka berpikir itu jebakan, karena aparat sama sekali tidak
tahu posisi saya.
“Kita tak ambil wesel itu karena takutnya
itu jebakan untuk menangkap kamu,”
cerita seorang teman, Junaidi Hanafiah, suatu waktu. Jadilah wesel itu
kadaluarsa sendiri tanpa ada yang mengambil. Kalau pun ada yang ambil tak bisa
juga dicairkan, karena harus ada KTP yang punya.
Tags:
biografi