Menulis dengan Tujuh Pertanyaan

Tiap diundang memberikan pelatihan jurnalistik, saya selalu ditanya apakah ada kiat dan teknik khusus menulis agar bisa dimuat di media. Ini pertanyaan yang sebenarnya cukup sederhana, tetapi memang tak mudah menjawabnya. Masing-masing orang, tentu saja, punya kiat dan teknik yang berbeda dalam menulis, tak selalu sama.

Kemudian, bagaimana agar tulisan dimuat di media? Nah, ini urusannya redaktur, bukan kita, para penulis. Tapi, ada triks-triks khusus yang harus diperhatikan agar tulisan punya peluang lebih besar untuk dimuat. Ini juga antara satu media dengan media lain berbeda. Jadi usahakan saja menulis yang bagus, aktual dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selalu membaca ulang tulisan yang hendak dikirim ke media, karena sering kali sebuah tulisan tak dimuat itu karena terlalu banyak ejaan yang salah, kalimat terlalu panjang, dan logika yang tak nyambung.

Kira-kira begitulah biasanya saya memberi gambaran. Sebab, saya sendiri pun tak memiliki kiat khusus bagaimana menembus ketatnya seleksi para redaktur opini, yang tiap hari harus membaca banyak sekali tulisan yang masuk. Nah, usahakan saja agar tulisan kita benar-benar istimewa di banding tulisan-tulisan lain. Selain itu, berdoalah semoga redaktur juga berbaik hati. Itu saja? Ya tidak donk.

Lalu, bagaimana menulis dengan tujuh pertanyaan? Bagi yang pernah mendapatkan pelatihan jurnalistik, saya yakin sudah pernah mendengar tujuh pertanyaan penting dalam menulis, yang sering disingkat dengan 5W1H (What, Who, When, Where, Why, How). Loh, kok enam? Satu lagi mana? Sabar. Kita bahas dulu yang enam ini, baru nanti kita tambah satu lagi. Ini hanya soal angka, bisa ditambah bisa dikurang.

Bagi siapa pun yang ingin mendalami dasar-dasar jurnalistik wajib memahami dengan baik unsur 5W1H ini. Jika tidak, ia gagal dalam mata pelajaran pertama. Karena unsur ini, sekali pun sederhana, menjadi pintu masuk dalam menguasai seluk-beluk penulisan. Semua karya-karya hebat jurnalis itu dimulai dari menjawab ke enam unsur ini.

Ray Peter Clark, guru menulis dari Poynter Institute mengembangkan konsep dan pedoman standar 5W1H menjadi pendekatan baru, menjadi lebih naratif. Ini pula yang menjadikan tulisan-tulisan narasi mirip kamera film dokumenter. Karenanya, dalam penulisan narasi: Who berubah menjadi karakter/tokoh yang terlibat dalam cerita; What menjadi plot/urutan peristiwa; When menjadi kronologi; Why menjadi motif; Where menjadi setting/tempat yang dilalui tokoh; How menjadi narasi.

Pendekatan Clark ini sangat berguna bagi siapa pun yang ingin menulis narasi, model tulisan yang kini banyak kita jumpai di media-media luar negeri. Dalam penulisan narasi, ada empat unsur yang penting diperhatikan, yaitu konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, dan tulisannya penuh dengan detail.

Tak mudah memang menulis narasi. Tetapi dengan usaha terus menerus dan selalu melakukan riset, kita mampu menulis tulisan narasi dengan baik. Selain itu, untuk menulis narasi, kita mutlak membutuhkan tujuh pertanyaan, enam di antaranya sudah kita sebut di atas.

Who (siapa)
Saat mulai menulis, sangat penting bagi kita untuk bertanya, tentang siapakah ini? Masalah apapun yang kita tulis, termasuk hal-hal yang tak begitu penting bagi pembaca, kita mutlak mencari tahu orang-orang yang terlibat dalam cerita. Misalnya kita menulis tentang tabiat atau kehidupan orang Aceh. Kita perlu mencari tahu siapa orang Aceh itu sebenarnya, kenapa mereka sangat menyukai minum kopi, kenapa pria Aceh sangat suka menikahi lebih dari satu wanita, misalnya.

Saat kita menulis tentang trend membaca yang tumbuh pesat di Aceh, kita perlu mencari tahu seorang pemuda yang menghabiskan waktunya dengan nongkrong di pustaka, di warnet atau nongkrong di warung kopi khusus untuk membaca koran. Kita juga perlu mencari tahu seseorang sosok pemuda, saking cintanya dia membaca buku sampai membuka sebuah toko buku. Intinya, kita perlu menjawab unsur siapa ini secara tuntas: siapakah yang kita tulis ini?

What (apa)
Sama seperti di atas, pertanyaan yang juga penting kita jawab adalah tentang apakah ini? Dalam menulis apapun kita perlu memahami masalah yang kita tulis itu secara lebih baik. Jika mendapati ada informasi yang masih kurang, kita perlu melakukan riset secara lebih mendalam. Ada hal-hal baru yang sebelumnya belum terungkap dan tak diketahui, menjadi terang benderang setelah riset. Kita bisa memulai dengan mencari tahu kenapa orang Pidie itu senang berdagang dan suka merantau. Kenapa orang Pidie dibilang pelit dan sebagainya. Jangan-jangan itu hanya mitos dan stereotype dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengetahui bagaimana karakter orang Pidie yang sebenarnya.

When (kapan)
Cukup banyak kejadian-kejadian penting terjadi pada waktu tertentu. Karena itu kita perlu membatasi tiap periode waktu terjadinya suatu peristiwa. Tak semua kejadian-kejadian hebat itu terjadi setiap waktu, kadang hanya sekali dalam rentang 20 tahun, sekali dalam satu dekade. Jadi, sebagai penulis kita tak cukup hanya sekadar tahu kapan sebuah peristiwa terjadi, tetapi kejadian apa saja yang terjadi sepanjang rentang waktu tersebut.

Where (di mana)
Tempat atau lokasi sangat penting dalam menulis. Kita mutlak harus tahu tahu setting kejadian dan kisah yang kita tulis itu ada di mana? Karenanya, agar tulisan kita kuat, riset tentang lokasi secara mendetail itu sangat perlu dan penting, untuk memudahkan pembaca memahami peristiwa yang kita tulis itu di mana. Pembaca perlu mendapat penjelasan lokasi-lokasi yang dilewati oleh para tokoh, lokasi tempat terjadinya peristiwa dan hal-hal apa saja yang menarik dari tempat tersebut.

Why (mengapa)
Nah, langsung muncul pertanyaan di benak kita, mengapa apa? Pertanyaan ini segera menuntun kita mencari tahu, mengapa yang terjadi itu kemudian terjadi. Mengapa kejadian dan peristiwa yang kita tulis itu terjadi, apa pentingnya, dan bagaimana dampaknya. Seperti sudah kita sebutkan di atas, Why berubah menjadi motif. Penting bagi kita mencari tahu penyebab seseorang melakukan sesuatu, atau apa motif di balik kasus pembunuhan seorang hakim, misalnya.

Pertanyaan ‘mengapa’ ini dapat menjadi sebagai pintu masuk untuk memahami secara menyeluruh tema yang hendak kita tulis, di mana dengan pertanyaan ini kita dapat mengungkap hal-hal baru yang sebelumnya tersembunyi, sehingga benar-benar membuka pemahaman baru pembaca.

How (bagaimana)
Pertanyaan ini masih ada hubungannya dengan pertanyaan ‘mengapa’ di atas. Sering kali dalam mencari pertanyaan mengapa, kita akan sampai pada pertanyaan ‘bagaimana’ sebuah peristiwa itu terjadi, urutan kejadiannya bagaimana, dan apa saja yang menyertainya.

Singkatnya, pertanyaan mengapa akhir-akhir ini cukup marak praktik korupsi, tak pelak mendorong kita untuk bertanya lebih lanjut bagaimana para koruptor melakukan korupsi, bagaimana modus yang digunakan dalam merampok anggaran daerah, misalnya. Atau masalah lainnya, mengapa penunjukan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe diprotes di mana-mana, terutama oleh masyarakat pantai tengah dan barat-selatan, akan mendorong kita mencari tahu bagaimana dan dalam bentuk apa protes itu dilakukan.

Kenapa cuma enam pertanyaan? Satu lagi kemana? Tenang. Setelah enam pertanyaan di atas terjawab, ada satu lagi pertanyaan yang juga tak kalah pentingnya. Bagi para jurnalis yang sering menulis berita, ada satu unsur yang membuat sebuah peristiwa, sebuah informasi menjadi layak diberitakan yaitu unik dan langka. Sesuatu yang unik dan langka itu sangat diminati oleh pembaca. Coba perhatikan, banyak pembaca koran atau penonton televisi itu lebih mudah tergoda untuk segera membaca atau menonton berita yang unik dan langka daripada berita politik. Nah, hal inilah yang membawa kita untuk menjawab pertanyaan terakhir yang juga penting dalam menulis yaitu Anehkah?

Anehkah?
Saat melakukan riset untuk penulisan, kita pasti cukup banyak menemukan potongan informasi atau hal-hal baru yang sebelumnya tak kita ketahui. Dari potongan-potongan informasi itu kita perlu bertanya dalam diri masing-masing apa yang aneh dari temuan kita ini? Misalnya, saat menulis tentang sosok seorang Gubernur yang hari-harinya banyak disibukkan dengan acara-acara protokoler, hampir tak ada waktu istirahat, tetapi kemudian kita mendapati fakta bahwa selepas dari pekerjaan melelahkan itu sang gubernur ternyata senang menonton video di youtube atau senang chatting dengan teman facebooknya. Bagi kita, fakta ini cukup aneh, bukan? Contoh-contoh lain masih cukup banyak dan bisa kita tambah sendiri.  

Sampai di sini, kita sudah memiliki gambaran, dari mana kita memulai menulis, dan pertanyaan penting apa yang perlu dijawab lebih dulu. Mudah-mudahan posting sederhana ini menginspirasi kita semua. [inspirasi dari banyak sumber]

Post a Comment

Previous Post Next Post