Saya teringat sebuah teka-teki sewaktu masih duduk di bangku madrasah aliyah, tapi tak tahu lagi di mana persisnya saya baca teka-teki itu. Yang pasti dari sebuah buku cerita, pun saya lupa judulnya. Ada empat teka-teki, sebenarnya, tetapi hanya satu yang relevan dengan tulisan ini. Teka-teki itu sederhana saja, ‘ia sebenarnya milikmu, tapi orang lain justru yang lebih sering menggunakannya.’ Pada tahu jawabannya apa, bukan?
Dalam posting sebelumnya, ‘Kita, Bintang Iklan dan Hegemoni Produsen’ kita sudah melihat bagaimana massifnya kekuatan sebuah iklan membentuk citra sebuah merek serta bagaimana produsen memanfaatkan keluguan kita dalam memasarkan produk mereka tanpa kita sadari. Tanpa merasa ‘terbebani’ kita telah ikut menjadi bintang iklan sekalipun tak mendapat bayaran untuk itu, bahkan kita merasa ‘hebat’ karena besarnya pengaruh yang dibentuk oleh brand yang kita pakai.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita tak pernah mengetahui kekuatan ‘marketing’ yang melekat pada diri kita. Sekalipun yang kita lakukan sebenarnya bentuk manifestasi membentuk citra diri, sebenarnya kita sudah ‘diperalat’ secara tak sadar oleh produk yang kita iklankan. Orang-orang tak lagi melihat siapa diri kita, melainkan apa yang kita pakai, gadget apa yang kita gunakan. Produk-produk itu seringkali terangkat citranya atau menjadi lebih dikenal karena kita sudah secara sadar memakainya.
Ada yang berhasil, tapi ada juga yang gagal. Semua tergantung siapa diri dan citra apa yang ingin kita bentuk. Banyak efek samping yang kita produksikan terhadap merek-merek yang kita pakai itu. Karya kita dan apa yang kita hasilkan dengan memakai merek-merek itu semakin memberi kesan ‘bagus’ pada branding benda tersebut.
Tapi, selaku ‘bintang iklan’ kita sebenarnya bisa melakukan lebih, misalnya, dengan membentuk brand sendiri. Malah, dewasa ini, melalui layar TV, halaman koran maupun laman internet (semacam sosial media), kita disuguhkan kesibukan masing-masing orang untuk membentuk merek sendiri. Mereka bergerak membangun personal branding yang mudah dikenali.
Lihat saja apa yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, Farhat Abbas atau para calon peserta konvensi Partai Demokrat merupakan upaya dari membangun citra. Mereka percaya pada kekuatan nama yang mereka miliki. Tak heran, kita begitu mudah menjumpai nama mereka dalam pemberitaan maupun pada iklan-iklan yang mereka bintangi. Mereka juga membangun sebuah portal yang tujuannya bagaimana nama mereka melekat pada ingatan orang-orang dan lalu kemudian terpengaruh dengan kampanye yang mereka lakukan. Mereka menjelma sebagai influencer marketing.
Politisi kita cukup cerdas memanfaatkan semua medium pencitraan. Mereka sebenarnya banyak belajar dan ingin mengikuti jejak sukses yang dinikmati Barack Obama. Obama merupakan salah satu contoh keberhasilan pembentukan citra nama sebagai merek terkenal, sepanjang 2008 silam. Keith Reinhard, Chairman Emiritus di DDB Wordwide memuji Obama setinggi langit. Menurutnya, Barack Obama adalah tiga hal yang paling anda idam-idamkan sebagai sebuah merek: dia baru, berbeda, dan menarik!
Indonesia juga punya beberapa contoh bagaimana kekuatan nama sebagai sebuah merek dagang politik, bahkan jauh sebelum euphoria Obama. Ini terjadi menjelang Pemilihan Presiden 2004, bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono dielu-elukan di mana-mana dan mendapat liputan luas dari media. SBY menuai simpati dicintai oleh rakyat setelah mendapatkan penghinaan dari suami Megawati, Taufik Kiemas, yang menyebutnya, jenderal yang berlagak sebagai anak kecil.
Bahkan kita memiliki contoh yang paling baru, dalam bentuk merek Jokowi. Namanya melambung tinggi setelah berhasil memenangi dua periode pemilihan Walikota Surakarta, bahkan para pemilihan yang kedua, dia mendapatkan suara lebih dari 90 persen. Merek ‘Jokowi’ kian meroket di panggung nasional setelah mengikuti Pilkada DKI Jakarta 2012 silam. Belakangan, namanya selalu muncul sebagai sosok paling potensial menjadi presiden pada Pilpres 2014 mendatang. Dalam beberapa survei terakhir, Jokowi mampu mengalahkan nama-nama besar seperti Prabowo Subianto, Megawati Soekarno Putri, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie dan Wiranto.
Nah, bagaimana dengan nama kita? Apakah kita sadar bahwa nama kita adalah sebuah merek, tetapi kita belum memberinya citra kuat sebagai merek hebat. Orang tua kita memberi kita nama kadang-kala dengan menyandarkan pada nama tokoh-tokoh besar, sehingga nama kita pun hampir dipastikan juga menjadi nama milik orang lain. Intinya, ada harapan dan keinginan menciptakan pengaruh di balik pemberian nama kepada kita. Hanya saja, kadang kita lupa menelaah nama sendiri.
Padahal, saat orang tua kita memberi kita nama, sebenarnya mereka ingin menciptakan kepribadian seperti apa yang harus kita miliki. Di Aceh, misalnya, untuk memberi nama bagi seorang anak, orang tua si anak kadang bertanya kepada ulama-ulama besar, termasuk memotong seekor kambing. Nama benar-benar masalah serius dan tak boleh main-main. Karena di balik nama seseorang itu terselip doa dan harapan. Termasuk kadang-kadang mereka mengasosiasikan dengan para tokoh yang namanya dicopot untuk nama anaknya.
Sekarang tinggal bagaimana kita menciptakan dan membentuk brand sendiri. Nama itu milik kita dan kitalah sebenarnya yang memberi citra padanya. Sebab, sekalipun orang tua kita memberi kita nama Muhammad Saleh, dalam praktinya tak melulu nama itu akan menuntun kita menjadi orang baik. Tak sedikit kita menemukan fakta bahwa yang namanya saleh pun sering kali berbuat salah. Sekalipun kita diberi nama Ahmad, yang artinya terpuji, tetapi dalam praktik sehari-hari, tindakan kita jauh untuk dikatakan terpuji. Kita masih bisa menulis banyak nama-nama baik lain yang perbuatannya bertolak belakang dari harapan si pemberi nama.
Pun begitu, membentuk citra (personal branding) menjadi tugas kita masing-masing. Kita ingin nama kita dikenal sebagai apa? Dan salah satu cara membentuk citra bahwa nama kita adalah sebuah merek hebat bisa kita mulai melalui blog. Ingin dikenal sebagai blogger seperti apa kita? Itu semua tercermin dari tulisan-tulisan kita di blog. Karenanya, mulai sekarang, mari mambangun citra positif dari kegiatan ngeblog, termasuk mengangkat derajat nama kita selevel dengan merek-merek terkenal yang sudah kita kenal seperti Giorgio Armani, Walt Disney, Calvin Klein atau Dolce & Gabbana.
Oh ya, satu lagi, bagi yang belum tahu jawaban untuk teka-teki yang dikutip di paragraf awal tulisan ini, ‘ia sebenarnya milikmu, tapi orang lain justru yang lebih sering menggunakannya’ adalah 'nama'. Salam. []
Dalam posting sebelumnya, ‘Kita, Bintang Iklan dan Hegemoni Produsen’ kita sudah melihat bagaimana massifnya kekuatan sebuah iklan membentuk citra sebuah merek serta bagaimana produsen memanfaatkan keluguan kita dalam memasarkan produk mereka tanpa kita sadari. Tanpa merasa ‘terbebani’ kita telah ikut menjadi bintang iklan sekalipun tak mendapat bayaran untuk itu, bahkan kita merasa ‘hebat’ karena besarnya pengaruh yang dibentuk oleh brand yang kita pakai.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita tak pernah mengetahui kekuatan ‘marketing’ yang melekat pada diri kita. Sekalipun yang kita lakukan sebenarnya bentuk manifestasi membentuk citra diri, sebenarnya kita sudah ‘diperalat’ secara tak sadar oleh produk yang kita iklankan. Orang-orang tak lagi melihat siapa diri kita, melainkan apa yang kita pakai, gadget apa yang kita gunakan. Produk-produk itu seringkali terangkat citranya atau menjadi lebih dikenal karena kita sudah secara sadar memakainya.
Ada yang berhasil, tapi ada juga yang gagal. Semua tergantung siapa diri dan citra apa yang ingin kita bentuk. Banyak efek samping yang kita produksikan terhadap merek-merek yang kita pakai itu. Karya kita dan apa yang kita hasilkan dengan memakai merek-merek itu semakin memberi kesan ‘bagus’ pada branding benda tersebut.
Tapi, selaku ‘bintang iklan’ kita sebenarnya bisa melakukan lebih, misalnya, dengan membentuk brand sendiri. Malah, dewasa ini, melalui layar TV, halaman koran maupun laman internet (semacam sosial media), kita disuguhkan kesibukan masing-masing orang untuk membentuk merek sendiri. Mereka bergerak membangun personal branding yang mudah dikenali.
Lihat saja apa yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, Farhat Abbas atau para calon peserta konvensi Partai Demokrat merupakan upaya dari membangun citra. Mereka percaya pada kekuatan nama yang mereka miliki. Tak heran, kita begitu mudah menjumpai nama mereka dalam pemberitaan maupun pada iklan-iklan yang mereka bintangi. Mereka juga membangun sebuah portal yang tujuannya bagaimana nama mereka melekat pada ingatan orang-orang dan lalu kemudian terpengaruh dengan kampanye yang mereka lakukan. Mereka menjelma sebagai influencer marketing.
Politisi kita cukup cerdas memanfaatkan semua medium pencitraan. Mereka sebenarnya banyak belajar dan ingin mengikuti jejak sukses yang dinikmati Barack Obama. Obama merupakan salah satu contoh keberhasilan pembentukan citra nama sebagai merek terkenal, sepanjang 2008 silam. Keith Reinhard, Chairman Emiritus di DDB Wordwide memuji Obama setinggi langit. Menurutnya, Barack Obama adalah tiga hal yang paling anda idam-idamkan sebagai sebuah merek: dia baru, berbeda, dan menarik!
Indonesia juga punya beberapa contoh bagaimana kekuatan nama sebagai sebuah merek dagang politik, bahkan jauh sebelum euphoria Obama. Ini terjadi menjelang Pemilihan Presiden 2004, bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono dielu-elukan di mana-mana dan mendapat liputan luas dari media. SBY menuai simpati dicintai oleh rakyat setelah mendapatkan penghinaan dari suami Megawati, Taufik Kiemas, yang menyebutnya, jenderal yang berlagak sebagai anak kecil.
Bahkan kita memiliki contoh yang paling baru, dalam bentuk merek Jokowi. Namanya melambung tinggi setelah berhasil memenangi dua periode pemilihan Walikota Surakarta, bahkan para pemilihan yang kedua, dia mendapatkan suara lebih dari 90 persen. Merek ‘Jokowi’ kian meroket di panggung nasional setelah mengikuti Pilkada DKI Jakarta 2012 silam. Belakangan, namanya selalu muncul sebagai sosok paling potensial menjadi presiden pada Pilpres 2014 mendatang. Dalam beberapa survei terakhir, Jokowi mampu mengalahkan nama-nama besar seperti Prabowo Subianto, Megawati Soekarno Putri, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie dan Wiranto.
Nah, bagaimana dengan nama kita? Apakah kita sadar bahwa nama kita adalah sebuah merek, tetapi kita belum memberinya citra kuat sebagai merek hebat. Orang tua kita memberi kita nama kadang-kala dengan menyandarkan pada nama tokoh-tokoh besar, sehingga nama kita pun hampir dipastikan juga menjadi nama milik orang lain. Intinya, ada harapan dan keinginan menciptakan pengaruh di balik pemberian nama kepada kita. Hanya saja, kadang kita lupa menelaah nama sendiri.
Padahal, saat orang tua kita memberi kita nama, sebenarnya mereka ingin menciptakan kepribadian seperti apa yang harus kita miliki. Di Aceh, misalnya, untuk memberi nama bagi seorang anak, orang tua si anak kadang bertanya kepada ulama-ulama besar, termasuk memotong seekor kambing. Nama benar-benar masalah serius dan tak boleh main-main. Karena di balik nama seseorang itu terselip doa dan harapan. Termasuk kadang-kadang mereka mengasosiasikan dengan para tokoh yang namanya dicopot untuk nama anaknya.
Sekarang tinggal bagaimana kita menciptakan dan membentuk brand sendiri. Nama itu milik kita dan kitalah sebenarnya yang memberi citra padanya. Sebab, sekalipun orang tua kita memberi kita nama Muhammad Saleh, dalam praktinya tak melulu nama itu akan menuntun kita menjadi orang baik. Tak sedikit kita menemukan fakta bahwa yang namanya saleh pun sering kali berbuat salah. Sekalipun kita diberi nama Ahmad, yang artinya terpuji, tetapi dalam praktik sehari-hari, tindakan kita jauh untuk dikatakan terpuji. Kita masih bisa menulis banyak nama-nama baik lain yang perbuatannya bertolak belakang dari harapan si pemberi nama.
Pun begitu, membentuk citra (personal branding) menjadi tugas kita masing-masing. Kita ingin nama kita dikenal sebagai apa? Dan salah satu cara membentuk citra bahwa nama kita adalah sebuah merek hebat bisa kita mulai melalui blog. Ingin dikenal sebagai blogger seperti apa kita? Itu semua tercermin dari tulisan-tulisan kita di blog. Karenanya, mulai sekarang, mari mambangun citra positif dari kegiatan ngeblog, termasuk mengangkat derajat nama kita selevel dengan merek-merek terkenal yang sudah kita kenal seperti Giorgio Armani, Walt Disney, Calvin Klein atau Dolce & Gabbana.
Oh ya, satu lagi, bagi yang belum tahu jawaban untuk teka-teki yang dikutip di paragraf awal tulisan ini, ‘ia sebenarnya milikmu, tapi orang lain justru yang lebih sering menggunakannya’ adalah 'nama'. Salam. []
Tags:
Blogging