Judul ini mungkin sedikit ‘genit’ dan ‘cabul’. Ya, saya
sendiri menganggapnya demikian. Tapi kalau ada di antara pembaca menganggap
judul tulisan ini terlalu vulgar sama sekali bukan urusan saya.
Sekarang, mari sejenak kita memperhatikan bentuk peta
Aceh baik-baik. Jika di dekat pembaca tak ada peta Aceh, bayangkan saja
bagaimana peta pulau Sumatera, yang di ujungnya tersebut berada provinsi Aceh.
Atau, kalau mau lebih gampang, buka saja Google Maps dan lihat baik-baik peta
Aceh. Sudah punya gambaran, bukan?
Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonialis menulis, orang Aceh suka menggambarkan
bentuk daerah Aceh (peta Aceh) menyerupai bentuk jeu'èe (tampah atau tampi
dalam Bahasa Indonesia), sejenis alat tradisional yang digunakan untuk menampi
atau mengayak beras. Tapi, kalau mau melihat lebih ‘bebas’, bentuk peta Aceh bagian
ujungnya ‘hampir’ mirip dengan bentuk alat vital laki-laki.
Bentuk ini sekaligus melambangkan, para penghuni peta
ujung Sumatera itu terkenal dengan kelelakiannya atau jantan. Tak percaya? Baca
saja sejarah perjuangan Aceh, kita akan mendapati betapa kejantanan orang Aceh
sejak dulu sampai sekarang membuat kagum siapa pun. Jadi, bentuk peta itu
menemukan relevansinya. Bisa jadi, anggapan ini salah.
Begini saja, biar tak salah paham, Saya mau cerita-cerita
sedikit beberapa kejadian di kampung kita. Perhatikan anak-anak yang bermain
sepakbola. Mereka, kadang-kadang bermain di tanah lapang yang tak terurus, atau
di sawah yang berlumpur. Mereka tak peduli terik mentari atau hujan deras.
Bermain adalah dambaan setiap anak-anak. Permainan bola dianggap sebagai
olahraga yang lelaki banget.
Dalam setiap pertandingan bola, sering kali permainannya
tak berjalan mulus, apalagi jika pertandingan bola itu melibatkan dua kelompok
anak dari kampung berbeda. Tak jarang, pertandingan bola berakhir dengan adu
fisik, karena permainan salah satu pihak yang menjurus kasar atau tak menerima
kekalahan. Maka, berkelahi adalah santapan terakhir di akhir pertandingan.
Sebagian penonton cukup menikmati adegan terakhir ini. Saya pikir, permainan
bola di tempat kita hingga hari ini pun demikian: permainan sekaligus juga
perkelahian.
Lalu, apa hubungannya dengan isi selangkang? Begini,
anak-anak dari suatu kampung yang merasa sudah cukup mahir bermain bola,
biasanya mereka akan mengundang anak-anak dari kampung tetangga atau kampung di
kecamatan lain untuk bertanding. Jika anak dari kampung tetangga tersebut tak
mau menerima tantangan bertanding, mereka langsung dicap (maaf) ‘hana kreh’. Secara tidak langsung, anak
kampung tetangga itu dipandang tidak jantan.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Aceh paling melibatkan
isi selangkang. Pasalnya, bagi orang Aceh kejantanan dan keberanian kerap
terkait dengan isi selangkang. Kedengarannya memang vulgar, tapi begitulah
faktanya. Siapa yang punya isi selangkang lebih besar dianggap lebih berani dan
jantan, dan mampu menguasai dan menghegemoni pihak lain, yang dianggap isi
selangkangnya lebih kecil.
Tak percaya? Saya mau kasih bukti lain. Sebelum Pemilu 9
April 2014, tempo hari, kita sering disuguhi berita kekerasan: pembakaran
kantor partai, penembakan posko caleg, dan perusakan alat peraga kampanye.
Kasus-kasus tersebut, misalnya, kerap melibatkan kader dua partai: Partai Aceh
dan Partai Nasional Aceh. Sesekali, kader di luar dua partai itu ada juga yang
jadi korban. Kalau diperhatikan persaingan di antara mereka-mereka ini sering
kali lebih dimaksudkan untuk membuktikan pihak mana yang paling jantan atau
dengan kata lain ‘pihak mana yang raya
kreh’, dan pihak mana pula yang hana
kreh, tidak jantan.
Tiap salah satu pihak mendapatkan teror, misalnya, sering
diikuti dengan pembalasan oleh pihak lain. Ini seakan-akan ingin menunjukkan,
bahwa mereka juga aneuk agam (laki
banget) yang tidak akan diam saja jika diteror. Jika tidak ikut membalas
dianggap tidak jantan (atau tidak ada kreh).
Masyarakat pun akan menganggap pihak yang diteror namun tidak membalas sebagai ‘awak hana kreh’. Tapi, begitu mendapat
teror, perusakan baliho ataupun penembakan kader, pihak partai yang jadi korban
akan langsung membalas. Masyarakat akan bilang, “na kreh awak nyan”.
Kalau ditelusuri lebih jauh, persaingan atau kompetisi
yang menjurus kekerasan itu sebenarnya lebih menunjukkan bahwa di Aceh ada
pihak yang tak ingin ada manok agam
(ayam jantan/ayam jago) lain. Seolah-olah, jika bukan manok agam itu yang berkokok, kehadiran pagi kehilangan tuahnya.
Pagi menjadi hambar karena yang berkokok adalah manok agam lain. Padahal, tanpa ada manok agam yang berkokok pun, pagi tetap hadir seperti biasa.
Kejantanan orang Aceh sudah dithei le kaphe (sudah dikenal orang). Sejak masa perang dengan
Portugis, Belanda maupun dengan Jepang. Dalam Hikayat Prang Sabi, misalnya,
disebutkan lelaki Aceh pantang meninggal di atas kasur bersama istrinya. Mereka
lebih memilih mati secara terhormat, berkubang dengan darah dalam memerangi kaphe Belanda. Bahkan dalam setiap fase
konflik dengan Indonesia pun, orang Aceh dikenal sebagai pihak yang sangat
jantan. Ketika masih berperang dengan Jakarta, orang Aceh juga sangat jantan.
Mereka rela berkubang dengan darah hanya untuk membuktikan bahwa pejuang Aceh
adalah aneuk agam!
Di Aceh pembuktian sebagai aneuk agam atau na kreh
itu sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita seringkali
bersinggungan soal kreh ini.
Misalnya, jika ada dua orang Aceh yang terlibat pertengkaran, kita akan sering
mendengar kalimat percakapan yang berhubungan dengan kreh ini.
+ Munyoe na kreh ka
preh kei bak simpang, munyoe kah aneuk agam!
- Munyoe ka peubloe kubloe! Kah aneuk agam,
kei aneuk agam
Jadi, wajar kalau dalam masyarakat Aceh muncul ungkapan ‘Bangsa
Aceh bangsa raya kreh ateuh rhueng donja’ yang dipelesetkan dari ungkapan
‘Bangsa Aceh bangsa teuleubeh ateuh rhueng donja’. Ini menunjukkan bahwa orang
Aceh adalah pemberani dan jantan!
Catatan:
Aneuk agam: anak laki
Manok agam: ayam
jantan/jago
Awak hana kreh: orang yang tak punya pelir/testis atau banci
Na kreh awak nyan: sangat
jantan
Dithei le kaphe: sangat
terkenal
Munyoe na kreh ka
preh kei bak simpang, munyoe kah aneuk agam!: kalau berani tunggu
saya di persimpangan, jika kamu laki
Munyoe ka peubloe
kubloe! Kah aneuk agam, kei aneuk agam: kalau kamu jual saya
beli, kamu laki, saya juga laki
Tags:
catatan