Dalam minggu ini, Azmi Abubakar membuat heboh jagat politik Aceh, terkait dengan pernyataannya yang dilansir sejumlah media di Aceh dan nasional. Dalam sebuah konferensi pers Barisan Pendukung Partai Aceh (BPPA) di Banda Aceh, Rabu (4/6) Azmi meminta agar Ketua Umum Partai Aceh Muzakkir Manaf mundur dari Ketua Umum Partai yang dibentuk mantan kombatan GAM tersebut karena diduga menerima Rp50 miliar dana dari Prabowo untuk mendukung mantan Danjen Kopassus itu sebagai Calon Presiden Indonesia.
“Barisan Pendukung Partai Aceh selalu mendukung setiap keputusan Partai, tetapi keputusan bersama, bukan keputusan pribadi,” kata Ketua BPPA Azmi Abubakar, dalam konferensi pers tersebut. Dia pun meminta agar Muzakkir Manaf menjalankan AD/ART Partai, memperjelas tentang pemecatan petinggi Partai Aceh selama ini, serta memperjelas soal mekanisme dengan Partai Gerindra.
Sejak itu, kisruh di internal Partai Aceh ini terus menggelinding. Bahkan, isu yang dirilis Ketua BPPA, Azmi, ini berkembang menjadi isu nasional. Pihak Gerindra sendiri sudah membantah bahwa mereka tak pernah memberikan dana Rp50 miliar kepada Muallem, sapaan akrab Muzakkir Manaf. Sementara pihak Muallem ingin melaporkan kasus pencemaran nama baik itu ke polisi. Seperti bola salju, kasus ini terus membesar dan membuat panas suhu politik di Aceh.
“Muallem yang langsung menjemput bang Azmi di Malaysia,” ujarnya.
Menurut Amin, keberangkatan Azmi ke Malaysia atas arahan Teungku Ismail Syahputra, juru bicara ASNLF. Waktu itu, Azmi ingin bercerita tentang ide referendum yang akan digagas oleh mahasiswa Aceh sebagai solusi alternatif penyelesaian Aceh kepada petinggi GAM di sana. Sepulang dari sana, Azmi pun bersama rekan-rekan aktivis Aceh menggagas ide Referendum. Pada 31 Januari-4 Februari 1999, KMPAN dan KARMA (Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh) menggelar Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) di Gedung Teungku Syik Di Tiro, Banda Aceh. Saat itu, KOMPAS menghasilkan dua rekomendasi penting: Pertama, memperjuangkan Referendum sebagai solusi penyelesaian Aceh secara bermartabat. Kedua, membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga yang akan mengorganisir perjuangan Referendum Aceh.
Setelah itu, para mahasiswa dan aktivis Aceh cukup gencar mensosialisasikan perjuangan referendum kepada masyarakat. Mereka bersama dengan pejuang GAM menggelar ceramah-ceramah di meunasah, masjid dan tempat-tempat lain mengampanyekan referendum. Selama hampir 10 bulan lebih, kampanye referendum bergema di seluruh Aceh, ditandai dengan pawai referendum di setiap kabupaten kota. Puncaknya, pada 8 November 1999, SIRA sesuai amanat KOMPAS menggelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh.
Saat perundingan di Jenewa antara RI dan GAM pada Mei 2000, Azmi termasuk dalam salah satu anggota tim juru runding GAM. Perundingan tersebut menghasilkan Jeda Kemanusiaan di Aceh. Keikutsertaan Azmi dalam tim juru runding tak terlepas dari posisinya saat itu sebagai staff Menteri Pertahanan GAM, Zakaria Saman.
Tapi, setelah Darurat Militer (DM) berakhir, Azmi memilih berdagang buku. Dia punya lapak toko buku bekas di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Bagi akademisi, peneliti, aktivis atau pecinta buku-buku bekas, biasanya sering menghubungi Azmi. Tidak seperti pedagang lainnya, Azmi sangat paham dengan buku yang dibutuhkan pelanggannya. Apalagi, Azmi memiliki koleksi buku bekas yang cukup banyak dengan tema beragam, dari politik hingga filsafat, dari hukum sampai buku ekonomi. Azmi bahkan punya museum seni di Karawaci. Di museum itu, banyak sekali benda-benda bersejarah, seperti naskah-naskah, piring antik dan buku-buku klasik.
Bagi orang Aceh di Jakarta, nama Azmi cukup terkenal, terutama setelah ‘insiden piring’ yang berbuntut pada pemukulan terhadap Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993) pada tahun 1998. "Nyan awak tampa Ibrahim Hasan (Dia itu orang yang menampar Ibrahim Hasan)," kata Budiman, seorang warga Aceh di Jakarta.
Ketika itu, Ibrahim Hasan menjadi salah satu pembicara dalam seminar tentang masa depan Aceh di Jakarta. Dalam seminar itu, Ibrahim Hasan bilang, kondisi Aceh sewaktu Daerah Operasi Militer (DOM) seperti orang menggelar kenduri. Pecah satu-dua piring itu hal biasa dalam sebuah pesta. Seusai acara, di dekat lift, Azmi menghampiri Ibrahim Hasan dan tanpa ba-bi-bu langsung melayangkan bogem muntah ke wajah Ibrahim. Azmi terus terang kesal dengan pernyataan Ibrahim Hasan yang membandingkan DOM dengan kenduri, apalagi menganggap kematian ribuan orang Aceh selama DOM sebagai sesuatu yang biasa.
“Barisan Pendukung Partai Aceh selalu mendukung setiap keputusan Partai, tetapi keputusan bersama, bukan keputusan pribadi,” kata Ketua BPPA Azmi Abubakar, dalam konferensi pers tersebut. Dia pun meminta agar Muzakkir Manaf menjalankan AD/ART Partai, memperjelas tentang pemecatan petinggi Partai Aceh selama ini, serta memperjelas soal mekanisme dengan Partai Gerindra.
Sejak itu, kisruh di internal Partai Aceh ini terus menggelinding. Bahkan, isu yang dirilis Ketua BPPA, Azmi, ini berkembang menjadi isu nasional. Pihak Gerindra sendiri sudah membantah bahwa mereka tak pernah memberikan dana Rp50 miliar kepada Muallem, sapaan akrab Muzakkir Manaf. Sementara pihak Muallem ingin melaporkan kasus pencemaran nama baik itu ke polisi. Seperti bola salju, kasus ini terus membesar dan membuat panas suhu politik di Aceh.
Azmi (tengah) saat konferensi pers BPPA | wartalima.com |
Terus terang, Saya tergelitik untuk menelusuri siapa sosok yang sudah membuat merah kuping beberapa petinggi Partai Aceh itu. Saya tidak kenal dekat dengan Ir Azmi. Tapi, Saya pernah sekali duduk ngopi dengan pria kelahiran tahun 1970 tersebut di Blackjack Kupi Banda Aceh, sekitar tiga bulan lalu. Waktu itu, Saya dikenalkan oleh Azhari dan Fauzan Santa, keduanya dari Tikar Pandan. Selebihnya Saya hanya mengenal lelaki berewokan yang menghabiskan masa kecilnya di Gampong Meunasah Teungku di Gadong, Kota Juang, Bireuen ini dari cerita beberapa kawan aktivis Aceh yang kebetulan pernah dekat dengannya. Menurut mereka, Azmi yang masih kerabat dekat dengan Teungku Ilyas Leubee ini termasuk aktivis Aceh yang cukup senior di Jakarta. Dia banyak terlibat dalam aksi memperjuangkan keadilan untuk Aceh di Jakarta.
Azhari, misalnya, mengaku sudah mengenal Azmi sejak lima belas tahun silam. Perkenalan mereka terjadi di saat-saat gerakan mahasiswa 98 sedang memuncak di Aceh. “Saya akrab dengan dia ketika gerakan menjatuhkan Soeharto sedang panas-panasnya di Aceh,” kata penulis Aceh ini, Rabu (11/6).
Selama aksi-aksi meminta Soeharto turun tersebut, dia mengaku mulai akrab dengan Azmi. “Azmi itu orangnya tenang dan kalem,” katanya. “Dia tak banyak bicara. Dan tidak begitu suka publikasi,” lanjutnya.
Di balik sosok tenang dan misterius tersebut, Azmi ternyata punya wawasan yang sangat luas. Dia banyak menginspirasi teman-teman aktivis Aceh waktu itu. “Azmi jernih dalam berpikir, dan itu menunjukkan pengetahuannya,” kata Azhari. Inilah yang membuat teman-teman aktivis cepat akrab dengannya. Kemudian Azhari mengaku, setiap mereka bertemu Azmi menghadiahinya buku-buku.
Sekali pun sering terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa di Aceh, Azmi ternyata tinggal di Jakarta. Dia hanya sesekali pulang ke Aceh, terutama ketika ada aksi-aksi dan acara penting. Pun begitu, abang kandung Arabiyani (Iyak)--istri Kautsar--ini cukup intens menjalin komunikasi dengan aktivis di Aceh. Ini pula yang membuat namanya tak asing di kalangan aktivis Aceh, baik di Jakarta maupun Aceh.
“Selebihnya dia lebih banyak beraktivitas di Jakarta,” ujar penulis buku Perempuan Pala itu. Di Jakarta, Dia termasuk aktivis Aceh yang cukup vokal menyuarakan kasus Aceh. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KMPAN).
“Selain Sekjend KMPAN, bang Azmi juga Staff Khusus Menteri Pertahanan GAM,” kata Muhammad Amin dalam sebuah obrolan di sosial media Facebook, Rabu (11/6). Menteri Pertahanan GAM yang dimaksud adalah Zakaria Saman yang lama bermukim di Thailand. Sebagai Menhan, Zakaria dikenal banyak memasok senjata kepada pejuang GAM melalui Thailand kala itu.
Konon, Azmi juga termasuk salah seorang pemasok senjata bagi gerilyawan GAM saat itu. Tak jelas bagaimana kegiatan ini dilakukan Azmi, apakah karena kedekatannya dengan Zakaria Saman atau Azmi punya jaringan lain di Jakarta. Saya tak banyak memperoleh informasi terkait hal ini. Ketika hal ini coba dikonfirmasi ke Muhammad Amin, dia mengelaknya. “Bak soe neudungo (Sama siapa info tersebut didengar?),” Dia balik bertanya.
Amin yang kenal dekat dengan Azmi mengaku, jaringan Azmi saat itu tak hanya sebatas ke aktivis saja, tapi juga ke dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dia bahkan berhubungan dekat dengan Ismail Syahputra (Juru Bicara ASNLF), Jack Kandang, dan Abdullah Syafie. “Keterlibatan bang Azmi di GAM sudah cukup lama,” cerita Amin.
Azhari, misalnya, mengaku sudah mengenal Azmi sejak lima belas tahun silam. Perkenalan mereka terjadi di saat-saat gerakan mahasiswa 98 sedang memuncak di Aceh. “Saya akrab dengan dia ketika gerakan menjatuhkan Soeharto sedang panas-panasnya di Aceh,” kata penulis Aceh ini, Rabu (11/6).
Selama aksi-aksi meminta Soeharto turun tersebut, dia mengaku mulai akrab dengan Azmi. “Azmi itu orangnya tenang dan kalem,” katanya. “Dia tak banyak bicara. Dan tidak begitu suka publikasi,” lanjutnya.
Di balik sosok tenang dan misterius tersebut, Azmi ternyata punya wawasan yang sangat luas. Dia banyak menginspirasi teman-teman aktivis Aceh waktu itu. “Azmi jernih dalam berpikir, dan itu menunjukkan pengetahuannya,” kata Azhari. Inilah yang membuat teman-teman aktivis cepat akrab dengannya. Kemudian Azhari mengaku, setiap mereka bertemu Azmi menghadiahinya buku-buku.
Sekali pun sering terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa di Aceh, Azmi ternyata tinggal di Jakarta. Dia hanya sesekali pulang ke Aceh, terutama ketika ada aksi-aksi dan acara penting. Pun begitu, abang kandung Arabiyani (Iyak)--istri Kautsar--ini cukup intens menjalin komunikasi dengan aktivis di Aceh. Ini pula yang membuat namanya tak asing di kalangan aktivis Aceh, baik di Jakarta maupun Aceh.
“Selebihnya dia lebih banyak beraktivitas di Jakarta,” ujar penulis buku Perempuan Pala itu. Di Jakarta, Dia termasuk aktivis Aceh yang cukup vokal menyuarakan kasus Aceh. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KMPAN).
“Selain Sekjend KMPAN, bang Azmi juga Staff Khusus Menteri Pertahanan GAM,” kata Muhammad Amin dalam sebuah obrolan di sosial media Facebook, Rabu (11/6). Menteri Pertahanan GAM yang dimaksud adalah Zakaria Saman yang lama bermukim di Thailand. Sebagai Menhan, Zakaria dikenal banyak memasok senjata kepada pejuang GAM melalui Thailand kala itu.
Konon, Azmi juga termasuk salah seorang pemasok senjata bagi gerilyawan GAM saat itu. Tak jelas bagaimana kegiatan ini dilakukan Azmi, apakah karena kedekatannya dengan Zakaria Saman atau Azmi punya jaringan lain di Jakarta. Saya tak banyak memperoleh informasi terkait hal ini. Ketika hal ini coba dikonfirmasi ke Muhammad Amin, dia mengelaknya. “Bak soe neudungo (Sama siapa info tersebut didengar?),” Dia balik bertanya.
Amin yang kenal dekat dengan Azmi mengaku, jaringan Azmi saat itu tak hanya sebatas ke aktivis saja, tapi juga ke dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dia bahkan berhubungan dekat dengan Ismail Syahputra (Juru Bicara ASNLF), Jack Kandang, dan Abdullah Syafie. “Keterlibatan bang Azmi di GAM sudah cukup lama,” cerita Amin.
Sepengetahuan Amin, Azmi yang ayahnya asli Gayo dengan ibu dari Bireuen ini tak hanya bergerak di tataran wacana. Dia bahkan ikut terjun langsung di medan perang, memanggul senjata. Azmi termasuk orang yang membentuk GAM Wilayah Kutacane dan Gayo Lues. “Dia pernah long march membawa pasukan GAM ke Kutacane,” kata anggota Partai Aceh ini.
Sekitar tahun 1998-1999, cerita Amin, Azmi bertemu dengan Teungku Malek Mahmud di Singapore. Saat itu, Muallem (Muzakkir Manaf) ada di Malaysia.
“Muallem yang langsung menjemput bang Azmi di Malaysia,” ujarnya.
Menurut Amin, keberangkatan Azmi ke Malaysia atas arahan Teungku Ismail Syahputra, juru bicara ASNLF. Waktu itu, Azmi ingin bercerita tentang ide referendum yang akan digagas oleh mahasiswa Aceh sebagai solusi alternatif penyelesaian Aceh kepada petinggi GAM di sana. Sepulang dari sana, Azmi pun bersama rekan-rekan aktivis Aceh menggagas ide Referendum. Pada 31 Januari-4 Februari 1999, KMPAN dan KARMA (Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh) menggelar Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) di Gedung Teungku Syik Di Tiro, Banda Aceh. Saat itu, KOMPAS menghasilkan dua rekomendasi penting: Pertama, memperjuangkan Referendum sebagai solusi penyelesaian Aceh secara bermartabat. Kedua, membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga yang akan mengorganisir perjuangan Referendum Aceh.
Setelah itu, para mahasiswa dan aktivis Aceh cukup gencar mensosialisasikan perjuangan referendum kepada masyarakat. Mereka bersama dengan pejuang GAM menggelar ceramah-ceramah di meunasah, masjid dan tempat-tempat lain mengampanyekan referendum. Selama hampir 10 bulan lebih, kampanye referendum bergema di seluruh Aceh, ditandai dengan pawai referendum di setiap kabupaten kota. Puncaknya, pada 8 November 1999, SIRA sesuai amanat KOMPAS menggelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh.
Saat perundingan di Jenewa antara RI dan GAM pada Mei 2000, Azmi termasuk dalam salah satu anggota tim juru runding GAM. Perundingan tersebut menghasilkan Jeda Kemanusiaan di Aceh. Keikutsertaan Azmi dalam tim juru runding tak terlepas dari posisinya saat itu sebagai staff Menteri Pertahanan GAM, Zakaria Saman.
Tapi, setelah Darurat Militer (DM) berakhir, Azmi memilih berdagang buku. Dia punya lapak toko buku bekas di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Bagi akademisi, peneliti, aktivis atau pecinta buku-buku bekas, biasanya sering menghubungi Azmi. Tidak seperti pedagang lainnya, Azmi sangat paham dengan buku yang dibutuhkan pelanggannya. Apalagi, Azmi memiliki koleksi buku bekas yang cukup banyak dengan tema beragam, dari politik hingga filsafat, dari hukum sampai buku ekonomi. Azmi bahkan punya museum seni di Karawaci. Di museum itu, banyak sekali benda-benda bersejarah, seperti naskah-naskah, piring antik dan buku-buku klasik.
Bagi orang Aceh di Jakarta, nama Azmi cukup terkenal, terutama setelah ‘insiden piring’ yang berbuntut pada pemukulan terhadap Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993) pada tahun 1998. "Nyan awak tampa Ibrahim Hasan (Dia itu orang yang menampar Ibrahim Hasan)," kata Budiman, seorang warga Aceh di Jakarta.
Ketika itu, Ibrahim Hasan menjadi salah satu pembicara dalam seminar tentang masa depan Aceh di Jakarta. Dalam seminar itu, Ibrahim Hasan bilang, kondisi Aceh sewaktu Daerah Operasi Militer (DOM) seperti orang menggelar kenduri. Pecah satu-dua piring itu hal biasa dalam sebuah pesta. Seusai acara, di dekat lift, Azmi menghampiri Ibrahim Hasan dan tanpa ba-bi-bu langsung melayangkan bogem muntah ke wajah Ibrahim. Azmi terus terang kesal dengan pernyataan Ibrahim Hasan yang membandingkan DOM dengan kenduri, apalagi menganggap kematian ribuan orang Aceh selama DOM sebagai sesuatu yang biasa.
“Pembunuh warga Aceh,” teriak Azmi kemudian. Sejak itu, di kalangan warga Aceh di Jakarta, aksi pemukulan Ibrahim Hasan tersebut dikenal dengan 'insiden piring'.
Seperti diketahui, semasa menjabat Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan turut mengundang ABRI ke Aceh untuk menggelar operasi pemulihan keamanan. Saat itu, Gerakan Aceh Merdeka generasi 1990-an baru kembali dari Libya. Mereka merekrut banyak pemuda Aceh untuk bergabung dengan GAM. Mereka menggelar ceramah-ceramah gelap dan mengedarkan banyak selebaran mengajak warga Aceh melawan Jakarta. Beberapa aksi penyerangan terhadap pos TNI juga dilakukan. Tak tahan dengan kondisi tersebut, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dengan dukungan dari Muspida dan organisasi pemuda mengirim surat ke Jakarta meminta pengiriman tentara. Kebijakan inilah yang dinilai Ibrahim Hasan punya andil besar menghadirkan DOM ke Aceh. Tapi, Ibrahim Hasan sering membantahnya.
“Tetapi yang menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer itu bukan saya. Itu kewenangan Pemerintah,” kata Ibrahim. Boleh jadi, pernyataan inilah yang membuat kesal Azmi dan menghadiahinya bogem mentah ke wajah Mantan Menteri Kabulog dan Pangan di masa Soeharto tersebut.
Seperti diketahui, semasa menjabat Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan turut mengundang ABRI ke Aceh untuk menggelar operasi pemulihan keamanan. Saat itu, Gerakan Aceh Merdeka generasi 1990-an baru kembali dari Libya. Mereka merekrut banyak pemuda Aceh untuk bergabung dengan GAM. Mereka menggelar ceramah-ceramah gelap dan mengedarkan banyak selebaran mengajak warga Aceh melawan Jakarta. Beberapa aksi penyerangan terhadap pos TNI juga dilakukan. Tak tahan dengan kondisi tersebut, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dengan dukungan dari Muspida dan organisasi pemuda mengirim surat ke Jakarta meminta pengiriman tentara. Kebijakan inilah yang dinilai Ibrahim Hasan punya andil besar menghadirkan DOM ke Aceh. Tapi, Ibrahim Hasan sering membantahnya.
“Tetapi yang menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer itu bukan saya. Itu kewenangan Pemerintah,” kata Ibrahim. Boleh jadi, pernyataan inilah yang membuat kesal Azmi dan menghadiahinya bogem mentah ke wajah Mantan Menteri Kabulog dan Pangan di masa Soeharto tersebut.
Kini, sosok yang tak gila publikasi dan misterius tersebut tiba-tiba menghentak panggung politik Aceh. Dan seperti kata teman-temannya, dia memang selalu muncul di saat-saat tertentu. Patut diduga, jangan-jangan ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi di Aceh, sehingga Azmi kembali muncul. Kita sebagai rakyat, layak menunggu di balik ini ada kejadian besar apalagi? []
Tags:
biografi