Petinggi TNI Paling Dibenci di Aceh

Dulu, ketika masih anak-anak (masih di bangku kelas 5 MIN), saya cukup sering mendengar nama seorang komandan Kopassus. Waktu itu Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) dan cukup banyak serdadu ABRI ditempatkan di tiap kampung. Nah, komandan Kopassus itu kebetulan bertugas di kampungku. Dia dikenal ramah dan baik hati. Namanya, kalau saya tidak salah ingat yaitu Suheri. Saya tidak tahu dia berasal dari mana dan dari angkatan apa. Apakah dia anggota Yonif 126 yang di kampungku dikenal sangat kejam, saya juga tidak tahu. Yang pasti, dia adalah anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Saat itu, Suheri bagian dari anggota ABRI yang bertugas memburu anggota GAM. Mereka ditempatkan di setiap kampung, 12 orang per kampung. Saya beberapa kali melihatnya saat melatih orang kampung baris-berbaris di halaman sekolah dasar di pusat Kemukiman (kini ibukota kecamatan). Dia sering bergaul dengan masyarakat dan nongkrong di warung kopi. Wajar, karena dia cukup ramah dan senang melemparkan senyum ke orang-orang, sehingga orang-orang ingin dekat dengan dia, tak tahu apakah karena takut atau apa.

ilustrasi
Rupanya, itu hanya bagian dari trik saja. Entah sudah ada di modul operasi atau tidak, bahwa setiap anggota ABRI yang ditempatkan di sebuah kampung dilarang untuk menyakiti warga kampung setempat. Panduan ini saya pikir juga yang dipegang oleh Suheri. Pasalnya, belakangan saya tahu bahwa Suheri ini orangnya sangat kejam. Dia banyak membunuh orang di kampung lain, seperti di Tangse, Geumpang, Tiro dan sebagainya. Dia juga dikenal suka meniduri istri orang. Informasi begini dulunya sangat tertutup, tapi selepas DOM orang-orang mulai berani membicarakannya.

Begitulah, sekelumit kisah keberadaan ABRI di Aceh. Di kampung tempat mereka ditugaskan, perilaku mereka sangat baik, tetapi di tempat lain mereka kasar dan bengis. Karena itu wajar jika anggota ABRI yang pernah bertugas di Aceh sangat dibenci oleh masyarakat. Bukan hanya mereka, para pucuk pimpinan juga. Berikut ini beberapa petinggi TNI yang paling dibenci di Aceh.

Soeharto
Jenderal Soeharto memang tidak pernah bertugas di Aceh. Presiden yang mengambil alih kekuasaan Soekarno pada tahun 1966 ini dikenal sebagai penanggung-jawab utama berbagai operasi militer di Aceh. Tak pelak, dalam list petinggi militer yang bertanggungjawab terhadap pemberlakuan DOM di Aceh, nama Soeharto menduduki posisi pertama. Sebagai Presiden Indonesia, Soeharto bertanggung jawab penuh terhadap berbagai kebijakan militeristik terhadap Aceh.

Bagi orang Aceh, Soeharto dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin. “Ketika sedang senyum pun, Soeharto sebenarnya memerintahkan militer untuk membunuh orang Aceh,” begitu komentar orang Aceh terhadap sosok Presiden yang 32 tahun membangun imperium Orde Baru. Gerakan reformasi 1998 berhasil menumbangkan sang diktator.

Letkol Inf Sudjono
Nama Letkol Inf Sudjono, Kepala Seksi Intelijen Korem 011/Lilawangsa, mencuat setelah tragedi pembantaian Teungku Bantaqiah dan 60 santrinya di Dayah Beutong Ateuh, 23 Juli 1999. Namun, setelah tragedi tersebut, Sudjono menghilang. Tak ada yang tahu kemana dia, bisa jadi dia menghilang untuk menutupi keterlibatan penanggung-jawab operasi di atasnya. Pernyataan resmi militer waktu itu menyebut dia melakukan desersi, keluar dari dinas kemiliteran. Rakyat jelas tak percaya.

Dalam sidang koneksitas di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (09/05/2000), Komandan Tim Guntur (tim yang bertugas menghancurkan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya), Letda Inf Tri Joko mengungkapkan, dalam operasi penyergapan Teungku Bantaqiah, Tim Guntur bertugas sebagai satuan penutup yang berposisi di seberang sungai depan dayah. Kekejaman dan kebengisan Sudjono dapat kita telusuri dari pengakuan Tri Joko ini. Katanya, seperti disampaikan dalam persidangan, ketika hendak pulang ke Takengon, ia bersama anggotanya diperintahkan Letkol Sudjono menaikkan 23 pengikut Teungku Bantaqiah yang menderita luka tembak ke atas dua truk. Mereka ini adalah korban selamat ketika penyergapan di Dayah Teungku Bantaqiah.

Sudjono mengatakan, para korban luka tembak dimaksud akan dibawa ke Takengon, Aceh Tengah, guna mendapat pengobatan. Letkol Sudjono naik truk depan, sedangkan Letda Tri Joko berada di truk kedua. Setelah setengah jam perjalanan, tiba-tiba truk depan berhenti. Letkol Sudjono turun dan mendekati Letda Tri Joko yang juga sudah turun dari truknya. Lalu Letkol Sudjono memerintahkan pembantaian terhadap para tawanan tersebut. Tri Joko awalnya mengaku tak tega. Letkol Sudjono pun marah dan tangan kanannya segera mendarat di muka Tri Joko. Tak hanya itu, Sudjono pun mencabut pistol sembari memerintahkan Tri agar segera mengeksekusi tawanan.

"Laksanakan perintah itu!" bentak Sudjono. Tri Joko pun menindaklanjuti perintah itu kepada anak buahnya. Pasalnya, mereka sedang melaksanakan operasi tempur, perintah apa pun terpaksa mereka laksanakan. Selanjutnya, di KM 7 itu, enam korban luka tembak yang dalam kondisi sekarat diturunkan dan dibawa oleh enam prajurit ke arah jembatan di belakang truk. Keenam tawanan ditembak dan mayatnya jatuh ke jurang.

Selesai di situ, truk kembali berjalan. Tapi, di KM 8 truk kembali berhenti, dan lagi-lagi Letkol Sudjono turun memberi perintah agar mereka segera disekolahkan (baca: dibunuh). Empat tawanan diturunkan untuk dieksekusi, dan mayatnya ditutup dedaunan. Selesai di situ truk berjalan lagi. Kira-kira 10 menit, truk mereka berhenti untuk ketiga kalinya. Di sinilah Letkol Sudjono turun dan memerintahkan semua tawanan yang diturunkan dari truk untuk dihabisi. Mengetahui teman-temannya sudah ditembak mati, beberapa tawanan lain coba melompat dari pinggir dinding truk. Tapi, mereka segera disambut peluru senjata M-16 yang dilepaskan dari jarak sangat dekat. Mayat-mayat korban bergelimpangan dan kemudian dicampakkan ke jurang.

Mayor Inf Bayu Nadjib
Nama Mayor (Inf) Bayu Najib boleh saja hilang di pentas politik nasional, tapi tidak bagi masyarakat Aceh, terutama bagi para korban penyiksaan di Gedung KNPI Aceh Utara, 9 Januari 1999 silam. Dialah aktor utama penganiayaan yang mengakibatkan banyak tahanan luka-luka, bahkan ada yang meninggal.

Aksi brutal ini tergolong biadab karena dilakukan pada bulan Ramadhan yang bagi masyarakat Aceh sangat sakral. Para tahanan yang kebanyakan penduduk sipil itu ditahan oleh tim operasi Wibawa ‘99 karena dicurigai mengetahui tentang penculikan seorang anggota TNI. Penyiksaan terhadap mereka terjadi sejak pukul 11.00 WIB dan baru berhenti menjelang pukul 19.00 WIB. Tahanan berada di gedung KNPI untuk mengikuti proses pemeriksaan oleh anggota Polres Aceh Utara yang mengenakan pakaian preman. Mereka diawasi oleh Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Iskandar Hasan.

Dalam persidangan di Mahkamah Militer, 16 Januari 1999, terungkap, Bayu masuk ke dalam gedung KNPI melalui pintu samping. Bersamanya masuk 30 orang prajurit ABRI antara lain dari Yonif 113/JS. Mereka semua ikut memukul, menendang, bahkan ada yang menggunakan popor senjata M16 terhadap tahanan yang menunggu giliran diperiksa. Najib sendiri ikut memukuli tiga tahanan yang tidak berbaju dengan menggunakan kabel listrik panjang berdiameter 1 centimeter yang dilipat dua. Akibatnya, korban menderita luka-luka dan terkapar.

Siapa Bayu Najib? Dia jadi anggota ABRI tahun 1985 melalui jalur pendidikan AKABRI. Karir militernya dimulai sebagai Dan Ton di Batalyon 147 Semarang. Pada tahun 1997 pindah ke Aceh sebagai Kasdim 0103 Aceh Utara, dan setahun kemudian menjabat sebagai Pelaksana Harian Komandan Batalyon 113/JS di Bireuen.

Karena ulahnya memukul para tahanan, Dan Yon 113/JS Bireun, Korem 011/Lilawangsa ini dijatuhi hukuman enam tahun penjara serta dipecat dari dinas militer TNI-AD.

Kol Inf Dasiri Musnar
Dasiri Musnar adalah Danrem 011/Lilawangsa. Saat dia memimpin Korem yang bermarkas di Lhokseumawe, cukup sering terjadi kerusuhan di kota yang dikenal dengan Petrodollar itu. Pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto pada 7 Agustus 1999 sama sekali tak disukai oleh prajurit ABRI. Pasalnya, setelah status operasi jaring merah tersebut dicabut, para anggota ABRI harus ditarik dari Aceh. Tetapi, ABRI yang menikmati kemewahan selama berlangsungnya operasi militer tersebut enggan meninggalkan Aceh. Beberapa upaya menciptakan kerusahan pun dilakukan.

Pada awal September 1998, misalnya, meletus kerusuhan di Lhokseumawe selama dua hari. Kerusuhan tersebut semula dipicu oleh aksi para pelajar yang menggelar demo di kota Lhokseumawe. Prajurit ABRI menuduh para pendemo tersebut digerakkan oleh Gerakan Aceh Merdeka. Danrem 011/Lilawangsa, Dasiri Musnar bahkan dengan lantang mencurigai gerakan massa disusupi Aceh Merdeka. "Ini terbukti mereka meneriakkan yel-yel "Aceh Merdeka" melalui pengeras suara di tengah kerumunan massa," ujarnya.

Kerusuhan tersebut mengakibatkan banyak jatuh korban, luka-luka dan beberapa ruko di Lhokseumawe dibakar. Masyarakat menduga, aksi tersebut sengaja disulut oleh ABRI agar terus dipertahankan. Apalagi saat itu sedang berlangsung pengadilan terhadap pentelon Gerakan Aceh Merdeka, Teungku Ishak Daud. Beberapa perwakilan masyarakat sipil di Banda Aceh meminta agar Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Dasiri Musnar dicopot.

"Pangdam I/BB harus mencopot Kolonel Inf Dasiri Musnar dari jabatan Danrem 011/Lilawangsa, agar jika ada agitasi kerusuhan ke depan mampu terpantau sejak dini sehingga ketenteraman masyarakat tetap terjaga," demikian desakan para aktivis LSM. [diolah dari berbagai sumber] -- bersambung

Post a Comment

Previous Post Next Post