Pecinta sepakbola kembali terkejut. Dan ini memang sudah biasa di dunia yang memuja keindahan, teknik tinggi, dan juga gelar juara. Senin (18/5) lalu, pelatih Juventus, Claudio Ranieri, dipecat karena dianggap gagal menangani tim yang berjuluk ‘si nyonya besar’ itu. Kebijakan pecat-memecat bukan sesuatu yang haram dilakukan pemilik klub. Prestasi gemilang dengan torehan puluhan gelar juara tak menjamin seorang pelatih duduk berlama-lama di kursi kepelatihan. Nama beken juga bukan jaminan tidak akan dipecat. Karena, dalam sepakbola nama besar bukanlah ‘surat keramat’ sang pelatih agar tenang melakoni tugasnya. Jika dia tak bisa memberikan gelar, maka konsekuensinya harus dipecat. Itu sesuatu yang pasti.
Frank Rijkaard, ketika mampu mempersembahkan tropi juara Liga Champions untuk Barcelona, dipuja setinggi langit. Namun, apa yang terjadi kemudian? Pemilik klub dari Catalan memecatnya, karena kondisi tim tidak lagi stabil dan sering mengalami kekalahan. Tak ada yang membantah, bahwa polesan mantan pemain AC. Milan tersebut, telah melahirkan sosok Messi dan Iniesta yang begitu harum namanya di jagad sepakbola. Tapi, seperti kita tahu, dalam sepakbola track record kadang-kadang menjadi tak berarti ketika tak mampu menghadirkan gelar demi gelar. Dalam sepakbola, menjadi juara adalah sesuatu yang tidak dapat dikompromikan. Seakan berlaku rumus di sini, ‘jika tak mampu memberi kami gelar juara, anda gagal dan risikonya anda harus berhenti’.
Masih banyak pelatih-pelatih lainnya yang mengalami nasib serupa, seperti Scolari yang dipecat pemilik Chelsea, Ben Schuter (Real Madrid), Aragones (Fenerbache), dan lain-lain. Mereka adalah korban dari sebuah ambisi pemilik klub, yang selalu mendambakan kemenangan. Dan hal itu sesuatu yang lumrah. Tak seorang pun boleh membantahnya. Nasib seperti itu juga tak cuma dialami pelatih, melainkan juga pemain. Jika pemain dianggap masih memberikan keuntungan untuk klub, masa depan dia menjadi cerah. Tetapi, ketika kehadirannya tak memberi arti untuk klub, dia akan dijual. Dalam sepakbola, kalkulasi materi dan prestisius berlaku dan berjalan bersama. Keduanya menjadi sulit dipisahkan. Orang hanya akan mengatakan, itulah sepakbola: sesuatu bisa terjadi termasuk yang tak diharapkan sekalipun.
Namun, ada pelajaran yang bisa kita simak di sini: bahwa keberhasilan kerap menentukan masa depan seseorang. Perubahan boleh saja dilakukan, tetapi ketika perubahan tak memberi arti sebuah kemenangan, maka perubahan adalah sebuah produk yang gagal. Dapat dipahami kenapa dalam sepakbola kadang-kadang mengabaikan faktor manusiawi. Tapi begitulah kenyataannya, dan pemilik klub sama sekali tidak mau dana yang dikeluarkannya hanya sia-sia saja. Dia sudah pasti ingin investasinya menguntungkan. Itu sudah tabiat manusia.
Dalam politik hendaknya juga berlaku aturan main demikian. Seorang pimpinan, hendaknya tak sekedar mengevaluasi bawahannya, melainkan juga harus memecatnya jika tak mampu memberikan nilai berupa keberhasilan atau sebuah program berjalan seperti yang dirumuskan. Meskipun memecat itu sesuatu yang tidak manusiawi, tetapi pada tahap tertentu perlu dilakukan. Mempertahankan pejabat yang terbukti gagal adalah sama saja bunuh diri, menerima kenyataan bahwa kepemimpinannya juga gagal. Jika pejabat tak mau dipecat, dia harus meningkatkan kinerjanya, jika tidak, maka nasibnya seperti yang terjadi pada pelatih sepakbola. Dipecat.
Jika pun dia tak rela dipecat karena takut namanya anjlok di mata publik, dia mesti tahu diri. Meski kita yakin, di sini yang banyak adalah pejabat yang besar kepala, dan sama sekali tidak menerima jika dianggap gagal. Jika pun penilaian publik dia gagal, pasti akan menyalahkan bawahannya yang tidak becus bekerja.
Saya selalu senang membaca berita-berita di negeri yang jauh. Pasalnya, di sana jika ada kasus pesawat jatuh, maka menteri perhubungan pasti mengundurkan diri. Jika ada pasien yang meninggal gara-gara pelayanan rumah sakit yang tidak optimal, menteri kesehatan juga memilih mundur sebagai solusi. Kita hanya bisa bermimpi sikap seperti itu ditiru oleh para pejabat kita di sini. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena di sini minim orang tahu diri.
Dalam kasus bobolnya kas Aceh Utara, misalnya, jika ada pejabat teras di sana merasa dirinya terlibat, dia pasti akan memilih mundur daripada jadi bahan pergunjingan. Dia tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya. Jika dia tahu diri, pasti dia akan mundur dengan tertib serta tak lupa meminta maaf karena tak mampu menjalankan amanah. Namun, seperti pernah kita tulis, di sini minim sekali hadirnya orang yang tahu diri. Homlah! (HA 210509)
Frank Rijkaard, ketika mampu mempersembahkan tropi juara Liga Champions untuk Barcelona, dipuja setinggi langit. Namun, apa yang terjadi kemudian? Pemilik klub dari Catalan memecatnya, karena kondisi tim tidak lagi stabil dan sering mengalami kekalahan. Tak ada yang membantah, bahwa polesan mantan pemain AC. Milan tersebut, telah melahirkan sosok Messi dan Iniesta yang begitu harum namanya di jagad sepakbola. Tapi, seperti kita tahu, dalam sepakbola track record kadang-kadang menjadi tak berarti ketika tak mampu menghadirkan gelar demi gelar. Dalam sepakbola, menjadi juara adalah sesuatu yang tidak dapat dikompromikan. Seakan berlaku rumus di sini, ‘jika tak mampu memberi kami gelar juara, anda gagal dan risikonya anda harus berhenti’.
Masih banyak pelatih-pelatih lainnya yang mengalami nasib serupa, seperti Scolari yang dipecat pemilik Chelsea, Ben Schuter (Real Madrid), Aragones (Fenerbache), dan lain-lain. Mereka adalah korban dari sebuah ambisi pemilik klub, yang selalu mendambakan kemenangan. Dan hal itu sesuatu yang lumrah. Tak seorang pun boleh membantahnya. Nasib seperti itu juga tak cuma dialami pelatih, melainkan juga pemain. Jika pemain dianggap masih memberikan keuntungan untuk klub, masa depan dia menjadi cerah. Tetapi, ketika kehadirannya tak memberi arti untuk klub, dia akan dijual. Dalam sepakbola, kalkulasi materi dan prestisius berlaku dan berjalan bersama. Keduanya menjadi sulit dipisahkan. Orang hanya akan mengatakan, itulah sepakbola: sesuatu bisa terjadi termasuk yang tak diharapkan sekalipun.
Namun, ada pelajaran yang bisa kita simak di sini: bahwa keberhasilan kerap menentukan masa depan seseorang. Perubahan boleh saja dilakukan, tetapi ketika perubahan tak memberi arti sebuah kemenangan, maka perubahan adalah sebuah produk yang gagal. Dapat dipahami kenapa dalam sepakbola kadang-kadang mengabaikan faktor manusiawi. Tapi begitulah kenyataannya, dan pemilik klub sama sekali tidak mau dana yang dikeluarkannya hanya sia-sia saja. Dia sudah pasti ingin investasinya menguntungkan. Itu sudah tabiat manusia.
Dalam politik hendaknya juga berlaku aturan main demikian. Seorang pimpinan, hendaknya tak sekedar mengevaluasi bawahannya, melainkan juga harus memecatnya jika tak mampu memberikan nilai berupa keberhasilan atau sebuah program berjalan seperti yang dirumuskan. Meskipun memecat itu sesuatu yang tidak manusiawi, tetapi pada tahap tertentu perlu dilakukan. Mempertahankan pejabat yang terbukti gagal adalah sama saja bunuh diri, menerima kenyataan bahwa kepemimpinannya juga gagal. Jika pejabat tak mau dipecat, dia harus meningkatkan kinerjanya, jika tidak, maka nasibnya seperti yang terjadi pada pelatih sepakbola. Dipecat.
Jika pun dia tak rela dipecat karena takut namanya anjlok di mata publik, dia mesti tahu diri. Meski kita yakin, di sini yang banyak adalah pejabat yang besar kepala, dan sama sekali tidak menerima jika dianggap gagal. Jika pun penilaian publik dia gagal, pasti akan menyalahkan bawahannya yang tidak becus bekerja.
Saya selalu senang membaca berita-berita di negeri yang jauh. Pasalnya, di sana jika ada kasus pesawat jatuh, maka menteri perhubungan pasti mengundurkan diri. Jika ada pasien yang meninggal gara-gara pelayanan rumah sakit yang tidak optimal, menteri kesehatan juga memilih mundur sebagai solusi. Kita hanya bisa bermimpi sikap seperti itu ditiru oleh para pejabat kita di sini. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena di sini minim orang tahu diri.
Dalam kasus bobolnya kas Aceh Utara, misalnya, jika ada pejabat teras di sana merasa dirinya terlibat, dia pasti akan memilih mundur daripada jadi bahan pergunjingan. Dia tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya. Jika dia tahu diri, pasti dia akan mundur dengan tertib serta tak lupa meminta maaf karena tak mampu menjalankan amanah. Namun, seperti pernah kita tulis, di sini minim sekali hadirnya orang yang tahu diri. Homlah! (HA 210509)
Tags:
pojok