Aceh adalah sebuah ironi. Meski berlabel propinsi yang menerapkan Syariat Islam, namun berita tentang penyalahgunaan wewenang, penculikan dengan dalih minta tebusan, menilep uang rakyat, dan berita-berita kontra-Syariat lainnya menjadi menu yang kita lahap sehari-hari. Di satu sisi, tentu sangat memiriskan hati, namun di sisi lain, itulah wajah Aceh yang harus diterima. Karena Aceh akhirnya melahirkan banyak paradok.
Jadinya, membaca Aceh menjadi tidak menarik. Bakal melahirkan banyak sumpah serapah. Meski, sikap demikian juga tak menyelesaikan masalah. Mendiamkan saja juga bukan sikap yang bijak. Rakyat tentu sudah muak menyimak berita seperti itu, karena dulunya mereka berharap, Aceh akan berubah, terutama setelah dipimpin oleh ‘orang kita sendiri’. Nyatanya, jauh panggang daripada api.
Daripada terus menerus membincangkan berita penyelewengan demi penyelewengan, kasus kriminal, dan berita-berita ‘memiriskan hati’ mending memusatkan pikiran pada pemilu presiden (Pilpres) 2009 yang sudah dekat, 8 Juli ini. Pasalnya, banyak hal yang harus dibenahi, seperti data pemilih yang masih kacau seperti saat Pemilu legislatif lalu, serta menimbang-nimbang siapa calon presiden yang layak dipilih orang Aceh. Dari tiga kandidat, Jusuf Kalla-Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Megawati-Prabowo, tentu semua memiliki program-program yang bagus dan layak memimpin Indonesia. Tetapi, dari ketiga kandidat itu, siapa yang sebenarnya diharapkan oleh rakyat Aceh, terutama untuk menjaga kelangsungan perdamaian Aceh yang telah bersemi pasca-MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.
Soal sepak terjang ketiga kandidat atau track record mereka, sedikit banyak sudah diketahui oleh rakyat Aceh. Seperti kebijakan atau sikap mereka terhadap perdamaian Aceh. Pasalnya, ketiganya pernah bersinggungan dengan Aceh, terutama dalam memperlakukan Aceh di masa konflik. Lalu, bagaimana rakyat Aceh akan memperlakukan mereka?
Dari pemilu legislatif lalu, sebenarnya sudah dapat diduga siapa capres yang bakal dipilih oleh rakyat Aceh? Seperti kita tahu, Partai Demokrat mendapat suara cukup signifikan di Aceh dan mengalahkan partai besar lainnya yang pernah merajai Aceh. Apakah ini pertanda bahwa rakyat Aceh nanti akan memilih SBY-Boediono? Sulit ditebak. Seperti pemilu presiden tahun 2004 lalu, pada putaran pertama rakyat Aceh memilih pasangan Amien Rais-Siswono, tetapi pada putaran kedua, pilihan rakyat Aceh berubah dan menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK.
Saat Pilpres nanti, SBY-JK sudah berpisah, dan mereka akan bersaing memperebutkan kursi R1, secara otomatis pilihan orang Aceh juga akan berubah. Jika alasan orang Aceh memilih kandidat karena berharap dapat terus menjaga kelangsungan perdamaian, persaingan kedua kandidat juga akan memusingkan. Pasalnya, keduanya memiliki andil terciptanya perdamaian Aceh, serta keduanya (SBY dan JK) komit untuk terus menjadi kelangsungan perdamaian. Bagaimana rakyat Aceh akan bersikap?
Ini tentu saja menjadi pilihan sulit bagi orang Aceh. Untuk itu, mulai sekarang sudah saatnya rakyat Aceh membuka kembali track record kandidat, mempelajari program dan kebijakan mereka terutama terkait Aceh. Karena, kita tentu ingin ada perubahan fundamental di Aceh, apalagi, ada keinginan sebagian pihak di Aceh untuk memperbaharui UU PA agar sejalan dengan MoU Helsinki, serta menjaga agar Aceh terus menjadi perhatian dan tidak lagi dianaktirikan, seperti dulunya.
Kita berharap, bahwa komitmen di Helsinki berupa hadirnya pemerintahan sendiri (self government) di Aceh mendapat perhatian serius dari presiden terpilih, dengan mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah (PP) agar point-point dalam UUPA dapat dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Permasalahan terhambatnya pelaksanaan UU PA karena terbentur belum terbitkan PP, bisa teratasi. Kita hanya ingin pemerintah baru nantinya, lebih ikhlas memberikan kewenangan-kewenangan kepada Aceh, di luar enam kewenangan pemerintah seperti digariskan MoU.
Karena itu, mari kita memilih presiden yang menurut kita bisa membantu mendorong Aceh ke arah kemajuan dan ikhlas mempertahankan perdamaian, seperti dambaan semua orang Aceh. (HA 190509)
Jadinya, membaca Aceh menjadi tidak menarik. Bakal melahirkan banyak sumpah serapah. Meski, sikap demikian juga tak menyelesaikan masalah. Mendiamkan saja juga bukan sikap yang bijak. Rakyat tentu sudah muak menyimak berita seperti itu, karena dulunya mereka berharap, Aceh akan berubah, terutama setelah dipimpin oleh ‘orang kita sendiri’. Nyatanya, jauh panggang daripada api.
Daripada terus menerus membincangkan berita penyelewengan demi penyelewengan, kasus kriminal, dan berita-berita ‘memiriskan hati’ mending memusatkan pikiran pada pemilu presiden (Pilpres) 2009 yang sudah dekat, 8 Juli ini. Pasalnya, banyak hal yang harus dibenahi, seperti data pemilih yang masih kacau seperti saat Pemilu legislatif lalu, serta menimbang-nimbang siapa calon presiden yang layak dipilih orang Aceh. Dari tiga kandidat, Jusuf Kalla-Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Megawati-Prabowo, tentu semua memiliki program-program yang bagus dan layak memimpin Indonesia. Tetapi, dari ketiga kandidat itu, siapa yang sebenarnya diharapkan oleh rakyat Aceh, terutama untuk menjaga kelangsungan perdamaian Aceh yang telah bersemi pasca-MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.
Soal sepak terjang ketiga kandidat atau track record mereka, sedikit banyak sudah diketahui oleh rakyat Aceh. Seperti kebijakan atau sikap mereka terhadap perdamaian Aceh. Pasalnya, ketiganya pernah bersinggungan dengan Aceh, terutama dalam memperlakukan Aceh di masa konflik. Lalu, bagaimana rakyat Aceh akan memperlakukan mereka?
Dari pemilu legislatif lalu, sebenarnya sudah dapat diduga siapa capres yang bakal dipilih oleh rakyat Aceh? Seperti kita tahu, Partai Demokrat mendapat suara cukup signifikan di Aceh dan mengalahkan partai besar lainnya yang pernah merajai Aceh. Apakah ini pertanda bahwa rakyat Aceh nanti akan memilih SBY-Boediono? Sulit ditebak. Seperti pemilu presiden tahun 2004 lalu, pada putaran pertama rakyat Aceh memilih pasangan Amien Rais-Siswono, tetapi pada putaran kedua, pilihan rakyat Aceh berubah dan menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK.
Saat Pilpres nanti, SBY-JK sudah berpisah, dan mereka akan bersaing memperebutkan kursi R1, secara otomatis pilihan orang Aceh juga akan berubah. Jika alasan orang Aceh memilih kandidat karena berharap dapat terus menjaga kelangsungan perdamaian, persaingan kedua kandidat juga akan memusingkan. Pasalnya, keduanya memiliki andil terciptanya perdamaian Aceh, serta keduanya (SBY dan JK) komit untuk terus menjadi kelangsungan perdamaian. Bagaimana rakyat Aceh akan bersikap?
Ini tentu saja menjadi pilihan sulit bagi orang Aceh. Untuk itu, mulai sekarang sudah saatnya rakyat Aceh membuka kembali track record kandidat, mempelajari program dan kebijakan mereka terutama terkait Aceh. Karena, kita tentu ingin ada perubahan fundamental di Aceh, apalagi, ada keinginan sebagian pihak di Aceh untuk memperbaharui UU PA agar sejalan dengan MoU Helsinki, serta menjaga agar Aceh terus menjadi perhatian dan tidak lagi dianaktirikan, seperti dulunya.
Kita berharap, bahwa komitmen di Helsinki berupa hadirnya pemerintahan sendiri (self government) di Aceh mendapat perhatian serius dari presiden terpilih, dengan mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah (PP) agar point-point dalam UUPA dapat dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Permasalahan terhambatnya pelaksanaan UU PA karena terbentur belum terbitkan PP, bisa teratasi. Kita hanya ingin pemerintah baru nantinya, lebih ikhlas memberikan kewenangan-kewenangan kepada Aceh, di luar enam kewenangan pemerintah seperti digariskan MoU.
Karena itu, mari kita memilih presiden yang menurut kita bisa membantu mendorong Aceh ke arah kemajuan dan ikhlas mempertahankan perdamaian, seperti dambaan semua orang Aceh. (HA 190509)
Tags:
editorial