Menyambung posting sebelumnya soal nama, saya tulis kembali kelanjutannya agar pembaca blog saya tidak penasaran.
Sebelum Taufik Al Mubarak, ada sejumlah nama yang sering saya gunakan. Saya masih ingat ketika awal mula saya memulai menulis, terutama saat duduk di bangku MAN 1 Sigli, saya suka menambahi embel-embel di belakang nama saya. Dalam puisi atau cerpen yang saya kirim ke Waspada saat itu maupun di Majalah Santunan yang sempat memuat puisi saya, nama yang saya gunakan adalah Taufik El Campli. Embel ujung nama itu saya ambil dari nama daerah kelahiran saya Trueng Campli. Lama juga nama itu bertahan, dan sering saya bubuhkan untuk karya fiksi, seperti cerpen, begitu juga untuk puisi.
Hingga sekarang, nama El Campli masih saya gunakan sesekali. Tapi, bukan untuk mengelabui orang, melainkan untuk memberitahukan orang-orang yang pernah membaca nama itu dulunya, bahwa Taufik El Campli masih hidup.
Namun, sejak duduk di bangku kuliah, terutama ketika saya membuat KTP baru di Banda Aceh (saya membuatnya dengan sistem tembak dan tak ada KK), nama saya menjadi Rakhmat Taufik. Saya tidak tahu apa pertimbangannya saya mengganti dengan nama Rakhmat Taufik. Nama ini termasuk bertahan lama, minimal hingga KTP itu habis masa berlakunya.
Saat saya ditangkap dalam sebuah demo tahun 2002, nama itu masih saya gunakan, meski saat itu kawan-kawan sudah mengenal saya Taufik Al Mubarak. Nama Rakhmat Taufik saya gunakan agar nanti pengakuan saya tidak berbeda dengan nama yang tertera di KTP. Jika misalnya kawan-kawan saya (yang berjumlah 7 orang ) yang ikut ditangkap dalam demo tersebut memberi kesaksian untuk saya, mereka tak salah menyebut nama. Namun, nama yang muncul di koran keesokan harinya adalah Taufik M. Ali.
Saat itu, salah menyebutkan nama, beralamat fatal, karena dikira saya memalsukan identitas.
Meski demikian, pihak polisi saat memberi keterangan pers ke media salah menyebut nama saya. Di media yang terbit setelah sehari penangkapan, saya disebut bernama Rabuad, seorang anggota GAM Aceh Rayeuk yang menyusupi aksi mahasiswa. Saya sendiri ikut geli membacanya, bagaimana mungkin saya memiliki nama itu, padahal teringat pun tak pernah.
Tapi, namanya juga masa konflik, yang tak ada kejadian saja bisa direkayasa menjadi ada, apalagi soal nama. Biasa diubah sedikit saja. Bukankah, dalam kondisi konflik, terutama jika mereka memegang kuasa, mereka akan lebih mudah memutarbalikan fakta, dan seolah-olah merekalah penafsir kebenaran. Apa yang disampaikan mereka, itulah fakta dan tentu benar. Belakangan saya jadi mafhum, terutama setelah membaca teori Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi yang terkenal dengan teorinya, Big Lie. Katanya, kebohongan adalah kebenaran yang diubah sedikit saja. Logikanya, sampaikan berita bohong berulang-kali, maka berita bohong itu akan jadi kebenaran.
Kita lupakan dulu soal itu. Terlalu miris jika mengingat kembali. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi Aceh hari ini. Terlihat, apa yang dulu kita lakukan, tak ada artinya. Aceh tetap begini, tak ada yang berubah.
Kenapa kemudian nama saya jadi Taufik Al Mubarak. Saya tak akan menceritakan soal arti Taufik dan Al Mubarak. Meski jika dikawinkan kedua kata itu, akan menghasilkan sebuah pengertian yang sangat bagus. Dan bisa dibaca sebagai doa.
Nama Taufik Al Mubarak pertama saya perkenalkan saat mengikuti training Ikatan Siswa Kader Dakwah (Iskada) tahun 2000 silam. Ketika tiba sesi perkenalan, saya mendengar kawan-kawan memiliki nama dengan dua kata. Saya berpikir, tak apa jika saya juga ikut menambah satu kata lagi, biar nama saya jadi panjang. Saat giliran memperkenalkan diri, saya dengan lancar menyebutkan nama Taufik Al Mubarak. Sejak saat itu, nama tersebut lebih sering saya gunakan.
Malah, ketika pertama mengirimkan tulisan ke rubrik Opini Serambi Indonesia, selain menggunakan nama Taufik Al Mubarak, saya masih menambah dengan nama orang tua saya di ujungnya. Jadilah Taufik Al Mubarak MA. Kawan-kawan saat itu sering berkelakar, bahwa tulisan saya dimuat di rubrik Opini Serambi karena si redaktur berpikir saya sudah master. Hehehe.
Kenapa sekarang saya mempersoalkan lagi nama saya? Apakah saya sudah tak ingin lagi menggunakan nama itu? Ceritanya juga panjang. Sekarang saya memiliki identitas yang berbeda satu sama lain. Di KTP ada yang bernama Taufik dan ada juga yang Taufik Al Mubarak. Di Pasport saya masih mempertahankan nama Taufik seperti dalam ijazah, termasuk kartu NPWP yang saya buat menggunakan nama Taufik (tok). Sementara dalam account bank, masih menggunakan Taufik Al Mubarak. Ribet jadinya. Di kantor tempat saya bekerja, mereka lebih mengenal saya Taufik Al Mubarak, termasuk dalam box redaksi.
Saya sendiri sekarang jadi bingung. Ketika mengisi aplikasi atau form pra pendaftaran untuk beasiswa di sebuah lembaga, saya bingung saat harus mengisi nama. Apakah saya menggunakan nama seperti ijazah atau nama Taufik Al Mubarak seperti nama yang sering saya gunakan? Soalnya, jika saya menggunakan Taufik Al Mubarak, juga ribet, karena berbeda dengan nama dalam ijazah. Sementara jika tetap menggunakan nama Taufik, saya bingung saat mengisi form berikutnya terutama soal karya publikasi. Banyak tulisan atas nama Taufik Al Mubarak. Pokoknya, bingung. Saya jadi berpikir kembali ke nama asal, bukan Husni Mubarak, tapi Taufik. Tanpa embel-embel apapun.
Saya hanya berharap, bahwa keberuntungan masih berpihak kepada saya. Semoga nama tidak memuncul masalah besar. Kembali saya teringat, apalah arti sebuah nama? Begitu kata Shakespeare. Ya..apalah arti sebuah nama? Tapi, masalahnya nama sangat berarti. Nama adalah penanda dan pembeda. [habis]
Sebelum Taufik Al Mubarak, ada sejumlah nama yang sering saya gunakan. Saya masih ingat ketika awal mula saya memulai menulis, terutama saat duduk di bangku MAN 1 Sigli, saya suka menambahi embel-embel di belakang nama saya. Dalam puisi atau cerpen yang saya kirim ke Waspada saat itu maupun di Majalah Santunan yang sempat memuat puisi saya, nama yang saya gunakan adalah Taufik El Campli. Embel ujung nama itu saya ambil dari nama daerah kelahiran saya Trueng Campli. Lama juga nama itu bertahan, dan sering saya bubuhkan untuk karya fiksi, seperti cerpen, begitu juga untuk puisi.
Hingga sekarang, nama El Campli masih saya gunakan sesekali. Tapi, bukan untuk mengelabui orang, melainkan untuk memberitahukan orang-orang yang pernah membaca nama itu dulunya, bahwa Taufik El Campli masih hidup.
Namun, sejak duduk di bangku kuliah, terutama ketika saya membuat KTP baru di Banda Aceh (saya membuatnya dengan sistem tembak dan tak ada KK), nama saya menjadi Rakhmat Taufik. Saya tidak tahu apa pertimbangannya saya mengganti dengan nama Rakhmat Taufik. Nama ini termasuk bertahan lama, minimal hingga KTP itu habis masa berlakunya.
Saat saya ditangkap dalam sebuah demo tahun 2002, nama itu masih saya gunakan, meski saat itu kawan-kawan sudah mengenal saya Taufik Al Mubarak. Nama Rakhmat Taufik saya gunakan agar nanti pengakuan saya tidak berbeda dengan nama yang tertera di KTP. Jika misalnya kawan-kawan saya (yang berjumlah 7 orang ) yang ikut ditangkap dalam demo tersebut memberi kesaksian untuk saya, mereka tak salah menyebut nama. Namun, nama yang muncul di koran keesokan harinya adalah Taufik M. Ali.
Saat itu, salah menyebutkan nama, beralamat fatal, karena dikira saya memalsukan identitas.
Meski demikian, pihak polisi saat memberi keterangan pers ke media salah menyebut nama saya. Di media yang terbit setelah sehari penangkapan, saya disebut bernama Rabuad, seorang anggota GAM Aceh Rayeuk yang menyusupi aksi mahasiswa. Saya sendiri ikut geli membacanya, bagaimana mungkin saya memiliki nama itu, padahal teringat pun tak pernah.
Tapi, namanya juga masa konflik, yang tak ada kejadian saja bisa direkayasa menjadi ada, apalagi soal nama. Biasa diubah sedikit saja. Bukankah, dalam kondisi konflik, terutama jika mereka memegang kuasa, mereka akan lebih mudah memutarbalikan fakta, dan seolah-olah merekalah penafsir kebenaran. Apa yang disampaikan mereka, itulah fakta dan tentu benar. Belakangan saya jadi mafhum, terutama setelah membaca teori Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi yang terkenal dengan teorinya, Big Lie. Katanya, kebohongan adalah kebenaran yang diubah sedikit saja. Logikanya, sampaikan berita bohong berulang-kali, maka berita bohong itu akan jadi kebenaran.
Kita lupakan dulu soal itu. Terlalu miris jika mengingat kembali. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi Aceh hari ini. Terlihat, apa yang dulu kita lakukan, tak ada artinya. Aceh tetap begini, tak ada yang berubah.
Kenapa kemudian nama saya jadi Taufik Al Mubarak. Saya tak akan menceritakan soal arti Taufik dan Al Mubarak. Meski jika dikawinkan kedua kata itu, akan menghasilkan sebuah pengertian yang sangat bagus. Dan bisa dibaca sebagai doa.
Nama Taufik Al Mubarak pertama saya perkenalkan saat mengikuti training Ikatan Siswa Kader Dakwah (Iskada) tahun 2000 silam. Ketika tiba sesi perkenalan, saya mendengar kawan-kawan memiliki nama dengan dua kata. Saya berpikir, tak apa jika saya juga ikut menambah satu kata lagi, biar nama saya jadi panjang. Saat giliran memperkenalkan diri, saya dengan lancar menyebutkan nama Taufik Al Mubarak. Sejak saat itu, nama tersebut lebih sering saya gunakan.
Malah, ketika pertama mengirimkan tulisan ke rubrik Opini Serambi Indonesia, selain menggunakan nama Taufik Al Mubarak, saya masih menambah dengan nama orang tua saya di ujungnya. Jadilah Taufik Al Mubarak MA. Kawan-kawan saat itu sering berkelakar, bahwa tulisan saya dimuat di rubrik Opini Serambi karena si redaktur berpikir saya sudah master. Hehehe.
Kenapa sekarang saya mempersoalkan lagi nama saya? Apakah saya sudah tak ingin lagi menggunakan nama itu? Ceritanya juga panjang. Sekarang saya memiliki identitas yang berbeda satu sama lain. Di KTP ada yang bernama Taufik dan ada juga yang Taufik Al Mubarak. Di Pasport saya masih mempertahankan nama Taufik seperti dalam ijazah, termasuk kartu NPWP yang saya buat menggunakan nama Taufik (tok). Sementara dalam account bank, masih menggunakan Taufik Al Mubarak. Ribet jadinya. Di kantor tempat saya bekerja, mereka lebih mengenal saya Taufik Al Mubarak, termasuk dalam box redaksi.
Saya sendiri sekarang jadi bingung. Ketika mengisi aplikasi atau form pra pendaftaran untuk beasiswa di sebuah lembaga, saya bingung saat harus mengisi nama. Apakah saya menggunakan nama seperti ijazah atau nama Taufik Al Mubarak seperti nama yang sering saya gunakan? Soalnya, jika saya menggunakan Taufik Al Mubarak, juga ribet, karena berbeda dengan nama dalam ijazah. Sementara jika tetap menggunakan nama Taufik, saya bingung saat mengisi form berikutnya terutama soal karya publikasi. Banyak tulisan atas nama Taufik Al Mubarak. Pokoknya, bingung. Saya jadi berpikir kembali ke nama asal, bukan Husni Mubarak, tapi Taufik. Tanpa embel-embel apapun.
Saya hanya berharap, bahwa keberuntungan masih berpihak kepada saya. Semoga nama tidak memuncul masalah besar. Kembali saya teringat, apalah arti sebuah nama? Begitu kata Shakespeare. Ya..apalah arti sebuah nama? Tapi, masalahnya nama sangat berarti. Nama adalah penanda dan pembeda. [habis]
Tags:
biografi