Teungku Jamaika, Pria Bergelar Komputer

“Impian saya ketika di Jakarta ingin mendirikan sekolah gratis untuk masyarakat akhirnya tercapai,” ujar lajang yang lahir di Meurandeh Paya, Sampoiniet, Aceh Utara, 5 April 1977 silam saat saya berkunjung ke tempat tinggalnya di kawasan Darussalam, Banda Aceh.

Pria ini, Syardani M. Syarif. Tapi di kalangan awak media, ia lebih dikenal dengan Teungku Jamaika. Juru Bicara Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Samudera Pasee.

Baginya, mencerdaskan anak-anak korban konflik dan kurang mampu adalah perjuangan yang sesungguhnya. Meskipun pernah bergerilya dan berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lainnya, pria yang sering disapa Jamaika ini memandang perang harus dilupakan. Mewariskan dendam untuk generasi mendatang, justru merusak masa depan mereka. Jamaika meyakini, perang tak memenangkan siapa-siapa melainkan menghancurkan apa saja, termasuk masa depan anak-anak yang seharusnya diharapkan menciptakan perubahan.

Dengan bantuan fasilitas dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Jamaika membuka sekolah komputer gratis untuk anak-anak korban konflik, korban tsunami dan anak-anak kurang mampu. Di sekolah berbasis masyarakat itu, mereka dipandu oleh beberapa tutor yang sudah mahir mempergunakan komputer. Ada 25 unit komputer yang tersambung internet tempat mereka merenda masa depan.


Tidak salah jika di kalangan GAM Tgk Jamaika diberi gelar komputer. Sekolah tersebut bisa jadi jawabannya, kenapa dirinya dipanggil dengan komputer. “Saya ingin agar anak-anak korban konflik mandiri, dan bisa berkembang,” katanya singkat.


Sejak damai bersemi di Aceh, aktivitas Jamaika tak lagi dihabiskan di depan komputer, mengirim rilis ke media dan membantah pernyataan petinggi TNI. Masyarakat mungkin tak akan membaca lagi pernyataan-pernyataan propaganda menuding TNI. Malah, Jamaika berharap tak lagi melakoni pekerjaan tersebut. Jamaika dulu berbeda dengan sekarang. Dia ingin bagaimana kegiatannya lebih banyak memberikan manfaat untuk masyarakat kecil, korban dari perang panjang.


Dulu, saat Aceh dibalut konflik, pernyataannya saban hari dirilis media, baik lokal, nasional maupun internasional. Sebagai salah seorang juru bicara Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Jamaika kerap menebar perang urat saraf di media. pernyataannya membuat petinggi militer di Jakarta berang.


Dalam salah satu babak perang urat saraf dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Juru bicara GAM Wilayah Pase itu pun pernah dinyatakan meninggal. “Saya ‘ditewaskan’ oleh Panglima Komando Operasi (Pangkoop) TNI, Bambang Darmono,” kata Tgk Jamaika membantah. Bantahan itu dimuat di koran terbitan Jakarta tahun 2003 lalu.


Informasi ‘meninggalnya’ Tgk Jamaika menyebar ke se-antero Aceh. Para simpatisan GAM pun sibuk mencari kebenaran informasi yang disampaikan Bambang Darmono di media tersebut. Apalagi pernyataan petinggi TNI itu dilansir oleh berbagai media cetak dan elektronik, baik lokal, nasional, maupun media asing.


Bambang Darmono menduga Jamaluddin Kandang, seorang TNA yang tewas dalam sebuah pertempuran sebagai Tgk Jamaika, tokoh GAM yang paling dicari saat Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh.


Saya yang berada di Jakarta, sempat kaget mendengar berita tewasnya Tgk Jamaika. Sebagai orang yang pernah akrab dengan Tgk Jamaika, saya tidak percaya pernyataan Bambang Darmono. Saya menganggap itu sebagai bagian perang urat saraf antara Tgk Jamaika dengan Pangkoop TNI tersebut.


Keraguan itu pula yang kemudian menggerakkan hati saya untuk menghubungi Jamaika melalui nomor hand phone (HP) yang pernah diberinya saat masih berada di Aceh. Keraguan saya berubah menjadi gembira, ketika mendengar suara di seberang, persis seperti suara Jamaika yang pernah saya kenal. “Saya baik-baik saja. Sekarang berada di tempat yang aman,” jawabnya mantap.


Mendapat kepastian bahwa Tgk Jamaika masih selamat, saya jadi tenang. “Sudah dulu ya, takut nanti HP saya disadap,” ujarnya sambil tak lupa mengucapkan salam. Pembicaraan terputus.


Selang beberapa bulan kemudian, saya bertemu langsung dengan Tgk Jamaika di Meunasah Aceh, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kebetulan hari itu, ada acara doa bersama untuk almarhum ibu Tgk Nasruddin Abubakar, presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang sekarang menjabat Wakil Bupati Aceh Timur.


Tubuhnya lebih kurus dari biasanya. Penampilannya biasa saja. Wajahnya pucat. Hari itu, Tgk Jamaika seperti teman-teman yang lain ikut berdoa. Tak banyak bersuara. HP-nya sesekali berdering.


Saat berbicara di HP lebih banyak berbisik. Selepas itu, biasa-biasa lagi dan larut dalam doa. Tetapi jari-jarinya sangat lincah memainkan tombol HP. Ternyata, dia sibuk membalas setiap SMS yang masuk dari lapangan, termasuk mengirim rilis ke media dengan berbagai pernyataan yang menohok TNI.


Selepas itu kami lebih sering bertemu


SAYA mengenal Tgk Jamaika ketika ia berkunjung ke kantor SIRA untuk menyerahkan data peristiwa pembunuhan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan TNI. Pertama melihatnya, saya sama sekali tidak yakin bahwa orang yang saya lihat adalah Tgk Jamaika, juru bicara GAM yang setiap hari pernyataannya dikutip media.


Selepas itu, kami sudah sering berkomunikasi. Hubungan saya dengan Tgk Jamaika semakin akrab setelah saya tinggal di kantor Koalisi Gerakan mahasiswa dan pemuda Aceh Barat (Kagempar), di Lamprit, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.


Di kantor Tgk Musliadi itu, Ketua Kagempar dan presidium SIRA yang diculik dan dibunuh SGI pada bulan puasa 2002, saya melihat bagaimana setiap hari dia menghimpun data pelanggaran HAM di lapangan. Jam 4 sore, Tgk Jamaika sudah mengurung diri di kamar dan merekap semua laporan yang masuk untuk dikirim ke media.


Selepas Magrib, pernyataannya sudah difax dan dikirim ke berbagai media, baik lokal, nasional dan internasional. Anehnya, Tgk Jamaika sama sekali tidak menggunakan mesin fax, melainkan progam winfax yang sudah diinstall di laptop Sony VAIO miliknya. Untuk koneksi internet, Tgk Jamaika menggunakan HP.


Meskipun Tgk Jamaika melakukan pengiriman berita dari kantor Kagempar di Lamprit, hasil fax yang diterima oleh media berasal dari no fax markas besar GAM di Sweden. Jika saya tidak melihat langsung bagaimana dia mengirimkan pernyataannya, saya tidak percaya bahwa faks itu berasal dari kawasan Lamprit.


Kemampuannya di bidang komputer tidak diragukan lagi. Bahkan, setelah lama berteman dengannya, saya jadi tahu bahwa orang GAM di lapangan memanggil Tgk Jamaika dengan Komputer, yang menunjukkan bahwa penguasaan Tgk Jamaika di bidang komputer di atas kemampuan rata-rata.


Kemampuan ini saya tahu ketika dia sangat lihai mengotak-atik komputer, memperbaiki, install program, melakukan percobaan terhadap berbagai software terbaru. Sesuatu yang baru diketahuinya, langsung dia praktekkan. Semua komputer yang rusak mampu diperbaiki olehnya.


Tapi, Tgk Jamaika tetap misterius. Di kantor Kagempar, misalnya, tak banyak yang tahu bahwa dia adalah Tgk Jamaika. Di kalangan aktivis ia menggunakan nama Muhammad. “Jangan panggil Tgk Dani di sini, cukup panggil Muhammad saja,” katanya mengingatkan agar saya tidak memanggil dengan nama yang pertama diperkenalkannya.


Padahal, biasanya, saya cukup memanggil dia dengan nama Tgk Dani saja. Pun begitu, soal nama asli, Tgk Jamaika sama sekali tidak memberi tahu saya. Saya baru tahu nama asli dia ketika damai bersemi di Aceh pasca-MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Ternyata Dani, adalah nama panggilan dari nama panjangnya Syardani M. Syarif.


Kehidupannya di kantor Kagempar ini tergolong unik. Kalau makan pagi selalu pakai daging bebek, sementara malam banyak mengkonsumi buah kentang. Malah, setiap pagi dia minta pengurus Kagempar belanja, tak pernah lupa meminta dibelikan kentang. Malamnya kentang tersebut direbus, dan jadi makanan di waktu malam.


Bertemu di Markas Besar GAM


SAYA bersama beberapa kawan pernah berkunjung ke markas besar GAM di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara sekitar akhir Januari 2002. Di markas tersebut saya melihat ada beberapa unit komputer, laptop, dan printer. Markasnya benar-benar mirip sebuah kantor LSM di Banda Aceh, dulunya. Ada ruang tamu, ruang meeting, ruang kerja, ruang tidur dan dapur. Di sekeliling markas tersebut, ada gubuk kecil yang dijaga 24 jam oleh pasukan GAM.


Di markas besar itu pula, saya pertama kali melihat Tgk Sofyan Dawood dan Tgk Muzakkir Manaf secara langsung. Sebelumnya, wajah kedua tokoh GAM yang berpengaruh ini hanya terpampang di media massa. Saya sendiri terkejut, sampai tak percaya bahwa saya bisa melihat dan salaman langsung dengan kedua tokoh ini. Soalnya, saat itu Tgk Muzakkir Manaf dan Sofyan Dawood termasuk masih sulit ditemui para wartawan.

Saya pernah tersenyum kecil ketika melihat Tgk Sofyan Dawood bermain game race di laptop di kantor tersebut. “TNI capek mencari Sofyan Dawood, ternyata dia cuma main game balap di markas,” ucap saya dalam hati.

Semua komputer dan laptop di markas tersebut di bawah kontrol Tgk Jamaika. Foto-foto latihan, foto penyerangan TNI, foto kegiatan GAM semua tersimpan rapi di laptop dan komputer lewat tangan Tgk Jamaika. “Sekarang semua data-data hilang, ketika Darurat Militer digrebek TNI,” katanya saat saya tanya apakah foto-foto dan video latihan GAM masih disimpan. Tgk Jamaika mengaku sedih atas kehilangan dokumen tersebut, karena itulah kisah perjuangannya memperkenalkan dunia IT kepada para kombatan GAM.


Komputer Menjadi Nama Saya


NAMA Jamaika hingga kini masih kabur. Di kalangan GAM, menggunakan nama sandi adalah hal lumrah. Bagitu juga dengan Jamaika, yang dipergunakan untuk mengelabui musuh. Jika terjadi sesuatu, bisa langsung diganti dengan orang lain. Tak ada yang tahu.

Begitu juga dengan Tgk Jamaika ini yang bernama asli Syardani M. Syarif. Dia menjadi orang ke sekian yang menggunakan nama sandi Jamaika. Mengenai siapa nama aslinya, suatu ketika Tgk Jamaika menuturkan kalau nama aslinya adalah Syarbani M. Syarif. Tetapi, sejak dudul di kelas 5 bangku sekolah dasar, namanya diganti menjadi Syardani. “Lucu that nan Syarbani. Misue tuha dita-ok dengan nama Bani (Lucu sekali nama Syarbani. Kalau tua nanti dipanggil dengan nama Bani),” tuturnya.

Masa kecil dihabiskannya di kampung, dan bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri Hagu Buwah, Baktiya, SMP Negeri Sampoiniet, Baktiya, SMA Negeri Baktiya, semuanya di Acheh Utara. Setamat dari SMA Baktiya, Syardani melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Tetapi, katanya, dia hanya sempat kuliah sampai semester VII (tujuh), pada Jurusan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Acheh. Selepas itu non-aktif, sampai sekarang.


Tgk Jamaika non-aktif bukan karena tidak sanggup lagi membiayai kuliah, melainkan akibat membaca sebuah seruan GAM akhir tahun 1998.


“Saat sedang libur kuliah, saya pulang ke kampung, Saya melihat dan membaca sebuah seruan di kertas berlogo Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditempelkan di dinding Ruko Keude Sampoyniet, Baktiya Barat, Acheh Utara yang diketik menggunakan mesin ketik biasa. Isi seruan tersebut meminta masyarakat menjaga binatang ternak peliharaannya supaya tidak berkeliaran karena sedang dalam musim tanam Padi di sawah sekitar kawasan itu. Seruan itu ditandatangani oleh Tgk. Muzakkir Manaf (Panglima GAM Wilayah Samudra Pase) dan Said Adnan Adamy (Gubernur GAM Wilayah Samudra Pase,” kenangnya.

Setelah membaca seruan itu, cerita Jamaika, dirinya weueh hate (bersedih), bukan karena isi seruan tetapi cara membuat surat itu masih diketik dengan menggunakan mesin ketik biasa.

“Padahal saat itu untuk mengetik surat sudah tersedia fasilitas yang lebih canggih dari mesin ketik yaitu Komputer,” cerita pria yang masih belum menikah ini.


Sejak itu, hatinya tergerak untuk terlibat dalam perjuangan GAM. Abu Sayed Adnan, Gubernur GAM Pase yang kini almarhum tersebut berjasa di balik bergabungnya Syardani dalam barisan GAM. Oleh Abu Sayed, Syardani diserahi tugas bidang IT dan mengajari kombatan GAM menggunakan komputer terutama yang dipandang mampu mengutak-atik perangkat lunak tersebut.


Syardani bercerita, saat itu banyak anggota GAM yang diajarinya komputer tak mengenal namanya. Padahal, semua anggota GAM saat itu memiliki nama sandi, agar tak terlacak oleh musuh. Soal nama, katanya, membuat komunikasinya dengan para kombatan dan juga Abu Sayed jadi kendala. Pasalnya, jika butuh bantuannya, tak ada yang tahu memanggilnya dengan nama siapa.


Baru setelah tiga hari berada di Pendopo, sandi untuk rumah kediaman Abu Sayed, katanya, dia dipanggil. “Djadi soë ta hei nan Droëkeuh? Bèk hana ta teupue meuhei pih (Jadi siapa Kita panggil nama kamu? Jangan Kita tidak tahu memanggilnya),” tanya Sayed Adnan. Saat itu, katanya, dia sendiri bingung mau dipanggil nama apa. Karena yang dimaksudkan adalah nama untuk sandi. Karena saat itu dikenal pintar mengutak-atik komputer, Abu Sayed memutuskan memanggil namanya dengan sandi ‘komputer’.


“Nama ini menjadi nama panggilan akrab saya sehari-hari di Pendopo dan juga menjadi nama sandi di radio komunikasi GAM,” kisahnya sambil tersenyum.


Kepada saya, Jamaika bercerita soal nama ‘Jamaika’ yang ‘melegenda’ itu. Katanya, saat dia baru bergabung dengan GAM, nama itu dipergunakan Hasanuddin, jurubicara GAM Wilayah Pase, anak almarhum Singa Meurante, seorang anggota Aceh Merdeka yang dikenal kebal dan sangat lihai taktik gerilya dan sangat ditakuti musuh.


Hubungannya dengan Hasanuddin menjadi akrab karena sering diminta bantu membuat rilis untuk dikirim ke media. Hasanuddin sendiri kurang memahami soal tulis-menulis.


“Hasanuddin pernah bercerita kepada saya bahwa dia pernah menetap di Malaysia selama dua tahun. Dia juga dipenjara di Malaysia,” ceritanya. “Di dalam penjara yang multi etnis, Hasanuddian belajar sejumlah bahasa terutama bahasa Inggris, sehinga percakapan bahasa Inggrisnya sangat lancar,” sambungnya. “Tapi dia kurang memahami dalam bentuk tulisan.”


Banyak pengalaman aneh selama berada di lingkungan kombatan GAM. Pernah ketika komputer baru dibeli, katanya, saat selesai mengetik surat ternyata printer belum dibeli.


“Saya bilang sama Abu Sayed bahwa Komputer ini belum dilengkapi dengan perangkat Printernya,” kisahnya. Mendengar itu, ujarnya, Abu Sayed bingung tak mengerti. “Puë Printer nyan, kiban ata njan (apa printer itu, bagaimana benda tersebut?” tanyanya.

“Setelah saya jelaskan bahwa printer adalah alat cetak, agar surat seperti yang terlihat di komputer bisa tercetak, Abu Sayed mengangguk-nganguk sambil mengatakan“Ôo ròh.. hana ku tu’oh (Oo ya.. Saya belum tahu)” katanya menirukan keheranan Abu Sayed. Banyak cerita yang saya dengarkan.

Setelah seminggu di markas GAM tersebut, saya kembali ke Banda Aceh, dan kuliah seperti biasa. Baru beberapa bulan kemudian saya mendengar lagi suara Tgk Jamaika. “NZ ditangkap!” katanya memberitahu tentang penangkapan Ketua Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).


Malam itu merupakan malam lebaran haji, 12 Februari 2002. Tgk Jamaika menelepon langsung dari markasnya di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara. Malam itu, saya, Muhammad MTA, dan Nasruddin Abubakar tidur di kantor SIRA di kawasan Peunayong. Saya yang mengangkat telepon. “Nyoe soe? (ini siapa),” tanya saya karena penasaran. “Nyoe lon Tgk Dani,” jawab suara di seberang.


Setelah itu saya baru tahu kalau yang menelepon adalah Tgk Jamaika. Saya hanya diam saja, karena bingung. Bagaimana mungkin Tgk Jamaika yang sedang berada di hutan Nisam tahu tentang penangkapan Ketua SIRA sementara kami yang tidur di Kantor SIRA tidak mengetahuinya.


Tanpa komando, saya membangunkan MTA, dan Tgk Nasruddin. Semua kawan akhirnya dikontak satu per satu memberi tahu informasi yang disampaikan Tgk Jamaika. Telepon itulah kontak terakhir saya dengan Tgk Jamaika pada masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) berlaku di Aceh. Dua bulan kemudian seluruh Aceh diberlakukan Darurat Militer, dan para aktivis harus mengungsi ke Jakarta, termasuk saya.


Di Jakarta, kami pernah tinggal satu rumah dalam waktu yang cukup lama. Kami sama-sama tinggal di kantor Aceh Support Groups (ASG) lembaga advokasi Aceh yang didirikan oleh beberapa kawan aktivis dari SIRA.


Di kantor ASG, aktivitas Tgk Jamaika seperti di kantor Kagempar terulang kembali. Cara dan waktu kerja dia persis sama. Tgk Jamaika diberi tugas merekap semua laporan dari medan perang yang dikirim oleh juru bicara atau panglima-panglima GAM dari 17 wilayah teritorial GAM seluruh Aceh.


Sering juga wartawan nasional maupun internasional mengonfirmasi Tgk Jamaika terkait kejadian di lapangan maupun proses politik yang sedang digagas di luar negeri. Meski kadang-kadang, jika pertanyaan wartawan lebih menjurus masalah perundingan, Tgk Jamaika meminta wartawan yang bersangkutan langsung melakukan wawancara dengan petinggi GAM di Swedia, yang punya otoritas. Karena para kombatan GAM di lapangan, seperti sudah ada kesepakatan, jika masalah politik atau perundingan, GAM di Sweden yang menjawabnya.


Sebenarnya, aneh juga melihat cara kerja Tgk Jamaika di Jakarta. Di samping merekap semua laporan, Tgk Jamaika juga harus melayani wawancara dari wartawan asing. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia, ada juga yang menggunakan bahasa Inggris.

Biasanya, untuk wawancara dalam bahasa Inggris, Tgk Jamaika pasti sudah menyiapkan bahan atau pernyataan apa yang ingin disampaikan di laptop Sony VAIO miliknya. Wartawan yang ingin mewancarainya pasti diminta menelpon balik sekitar sepuluh sampai 15 menit kemudian.

Waktu sepuluh menit itulah digunakannya untuk menyiapkan pernyataan, termasuk dalam bahasa Inggris. Artinya, dalam memberi pernyataan, Tgk Jamaika harus berkoordinasi dulu dengan petinggi GAM di lapangan, tentang bagaimana sikap GAM secara organisasi terkait suatu kejadian atau kebijakan. Artinya, saat Darurat Militer, sistem komando GAM masih kuat dan sangat jalan.


“Wartawan yang mewawancarai Tgk tahu posisi Tgk dimana?” pancing saya suatu ketika.

“Mereka tidak tahu saya di Jakarta. Wartawan berfikir saya di gunung bersama petinggi GAM lainnya,” jawabnya.

Ya…Tgk Jamaika memang sosok petinggi GAM yang populer seperti Tgk Sofyan Dawood atau Muzakkir Manaf. Tetapi, yang berbeda, jika Tgk Sofyan Dawood atau Tgk Muzakkir Manaf sering terpampang wajah di Media, maka Tgk Jamaika sebaliknya. Sebelum perundingan Helsinki, belum pernah sekalipun wajahnya masuk media.


“Ini taktik, agar saya selalu bebas bergerak,” katanya.


Menurutnya, para wartawan hanya hafal suaranya. Sementara wajahnya sama sekali tidak diketahui. Tgk Jamaika bercerita, pernah ada wartawan yang meminta dikirimi fotonya, tapi tetap tidak mau. Karena si wartawan memaksa, Tgk Jamaika mau tidak mau harus mengirimkannya. Tetapi, katanya, yang dikirim bukan gambar wajahnya, melainkan foto bayangan dirinya. Si wartawan bertambah bingung.


Tak hanya kepada wartawan, foto bayangan dirinya juga pernah dikirim ke petinggi GAM di Sweden. Saat itu, seorang tokoh GAM, Doli, yang biasa menemani William Nessen, berangkat ke Sweden. Melalui Doli, Jamaika menitip foto bayangan dirinya. “Misue pimpinan geutanyoe na geutanyong toh Jamaika, neupeulumah mantong fotonyoe,” pesannya.


Jamaika benar-benar misterius. Saya sendiri juga sering memperhatikannya setiap kali melayani wawancara dari wartawan. Kepada mereka, Tgk Jamaika memberi tahu sedang berada di salah satu markas GAM di gunung. Saya jadi heran, bagaimana bisa Tgk Jamaika menyembunyikan tempat persembunyiaannya.


Karena penasaran, saya mencoba memperhatikan gerak-gerik dirinya. Lama juga saya harus menunggu momen, bagaimana siasat Tgk Jamaika menyembunyikan lokasi aslinya. Ternyata, setiap kali menerima telepon, Tgk Jamaika pasti masuk kamar.

Setelah mengangkat telepon, Tgk Jamaika tak langsung berbicara, tetapi membunyikan suara kicauan burung atau suara ombak laut dari Laptopnya yang selalu standby layaknya di sebuah hutan belantara atau tepi pantai beberapa detik. Selepas itu baru berbicara.

Sering juga ketika sedang berbicara, tiba-tiba HP-nya diputusin. Ketika si wartawan menelepon balik, Tgk Jamaika mengaku di tempatnya sedang kehilangan sinyal, karena harus berpindah atas informasi TNI mendekati markas GAM.


“Kok sering kali ketika berbicara, tiba-tiba HP dimatiin?” tanya saya iseng.

“Gimana nggak dimatiin, pas lagi saya ngomong tiba-tiba kedengaran suara Bajaj lewat,” jawabnya enteng. Soalnya, jika tetap melayani telepon, si wartawan pasti tahu bahwa Tgk Jamaika bukan di gunung, tetapi di Kota Jakarta. Hal yang sama juga dilakukan setiap kali terdengar adzan.

KINI banyak orang bertanya-tanya, kemana dan apa pekerjaan Tgk Jamaika sekarang. Seperti halnya beberapa tokoh GAM lainnya, nama Tgk Jamaika seperti tenggelam ditelan bumi. Jarang sekali media mengekposenya sekarang. Jamaika sempat bekerja di BRR. 


Setelah habis masa tugas BRR di Aceh, tak ada yang tahu di mana pria berjuluk si komputer itu. Suatu kali, melalui yahoo messenger, Jamaika mengaku sedang berada di Malaysia mengikuti kursus bahasa Inggris yang dibiayai Pemerintah Aceh. Ternyata, belakangan Jamaika sibuk sebagai anggota tim asistensi Gubernur di bidang transisi.


Temporal muntatur etnos muntatur ilis, waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Untuk merekam perubahan itu, di sela-sela kesibukannya, Tgk Jamaika mulai menulis jejak-jejak perjuangannya bersama GAM dalam satu otobiografi. Sebuah kisah perjalanan panjang seorang TNA dengan segala seluk beluknya. Sebuah buku yang layak untuk ditunggu peluncurannya.***

Post a Comment

Previous Post Next Post