Selama tiga malam ini, saya jadi sulit tidur. Hal ini saya rasakan, setelah saya pulang cepat ke rumah begitu pekerjaan di kantor selesai. Awal bulan ini, jam kerja kami di kantor sudah berubah. Para redaktur harus masuk kerja lebih awal, jam tiga sore.
Para wartawan baik di Banda Aceh maupun di daerah harus sudah menyetor berita ke redaksi paling telat jam 4 sore, kecuali berita insiden besar atau yang layak diprioritaskan untuk halaman satu, masih ditolerir hingga jam 10 malam. Perubahan jadwal tersebut, berarti kerja saya sudah cepat selesai dan cepat pulang pulang ke rumah.
Tapi, masalahnya, sudah dua malam ini saya pulang cepat, namun muncul masalah bahwa saya tidak bisa memejamkan mata. Sudah sejak dulu, saya tidur telat (lebih-lebih jika musim bola), dan biasanya baru bisa tidur jam 4 malam. Saya sudah menjelma sebagai lelaki penakluk malam. Malam yang seharusnya saya gunakan untuk tidur, malah saya gunakan untuk kerja dan bergadang. Sementara siang hari yang harusnya saya gunakan untuk bekerja, malah saya manfaatkan untuk tidur. Bagi saya, siang dan malam sudah ‘terbalik’, siang dalam kamus saya adalah malam, dan malam adalah siang.
Banyak kawan yang menasehati agar saya bisa mengatur jadwal dengan baik, tidur dengan cukup. Karena, kata mereka, jika saya kurang istirahat, saya berisiko jatuh sakit. Tapi, saran kawan saya itu belum bisa saya laksanakan. Meski saya merasa dan paham, bahwa kebiasaan saya itu hanya merugikan diri saya sendiri. Mudah-mudahan ke depan, pola hidup saya bisa berubah. Baik dalam hal istirahat, kerja, makan dan juga olahraga.
Dan Rabu (07/10) malam, semua pekerjaan kantor selesai saya kerjakan jam 20.00 WIB. Sementara selesai layout dan kalkir halaman jam 23.00 WIB. Tapi, saya tak langsung pulang ke rumah. Di kantor, saya menyempatkan diri menonton film yang boleh dibilang film zaman, James Bond, karena sudah sering kali diputar. Karena film action dan berhubungan dengan kerja-kerja spionase, saya sangat menyukainya. Oya, sebelumnya saya juga sempat menyaksikan Terminator, yang dimainkan Arnold yang kini jadi Gubernur California. Film ini juga tak bosan-bosannya untuk ditonton, dan tentu saja jadi film favorit bagi anak-anak. (Saya juga).
Tak hanya saya, banyak kawan-kawan di kantor juga ikut menontonnya, karena lagi lowong dari kerja. Meski mereka sudah sering menonton film ini, namun mereka sangat menikmati akting si James Bond, termasuk keberaniannya dalam melakukan penyamaran. Tentu saja, James Bond sudah melegenda. Channel tv tak pernah ditukar, kecuali pas sesi iklan, sambil memantau perkembangan Munas Partai Golkar di Kampar, Riau.
Sambil menunggu selesai print out dan kalkir halaman depan, kami masih betah menonton film dan sambil bercanda seperti biasa. Tiba-tiba ada informasi bahwa di Pidie terjadi perampokan bersenjata. Kebetulan informasi itu masuk ke Hp Pemred. Hp saya sendiri sudah sejak sore saya ganti dengan nomor lain, karena lagi tak mau terganggu dengan SMS dan juga telp. Bisa jadi kawan-kawan di Pidie sudah mencoba berulangkali menghubungi dan mengirim SMS. Saya sendiri tak tahu, karena hingga saya menulis posting ini, saya belum mengganti kartu dengan yang lama. Saya langsung telp ke Pidie untuk memastikan apakah benar ada insiden atau tidak. Ternyata, memang benar adanya upaya perampokan bersenjata api, di mana sang perampok menggunakan AK 56.
Saya minta wartawan piket untuk menghubungi wartawan Pidie menanyai bagaimana insiden yang sebenarnya, karena jika harus menunggu kiriman berita dari mereka banyak menghabiskan waktu, jadi lebih baik wawancara wartawan langsung dan beritanya dibuat di Banda Aceh ini. Lebih praktis dan juga cepat, karena perlu diburu waktu agar kalkir koran tidak lewat jam 24.00 karena akan berpengaruh terhadap distribusi koran ke daerah. Namun, setelah ditelp wartawan di Pidie, dia mengaku sedang melakukan konfirmasi termasuk menanyakan detail peristiwa dari aparat kepolisian. Jadi, terpaksalah menunggu. Ternyata, tak lama kemudian si wartawan langsung menelpon ke Banda Aceh, dan meminta agar beritanya langsung ditulis di Banda. Mulailah Juli Amin (wartawan piket) menulis berita berdasarkan keterangan dari wartawan di Pidie.
Yang membuat saya terkejut, insiden upaya perampokan bersenjata itu terjadi di Kecamatan saya, tepatnya di Desa Garut Bungong, Glumpang Baro, Pidie. Reaksi saya masih seperti biasa, tak menganggap sesuatu yang penting sedang terjadi. Saya masih asyik menonton perkembangan Munas Golkar, termasuk menonton film. Namun, saya menjadi terkejut setelah melihat print out halaman koran, dan memeriksanya. Saya baca headlines tentang insiden perampokan tersebut. Saya baca paragraf demi paragraf. Mata saya kemudian membaca sebuah nama, yang tak asing bagi saya. Langsung saya teriak, bahwa korban perampokan itu adalah saudara saya. Kawan-kawan di kantor pada terkejut dan tak percaya. Saya kemudian menelpon untuk memastikan. Ternyata benar yang jadi korban itu saudara saya (sepupu ayah saya). Karena masih trauma, dia pun memastikan siapa yang sedang menelpon. “Soe nyoe?” tanyanya, yang mengaku masih trauma. “Ini saya Taufik Trueng Campli,” jawab saya. Dia baru lega karena mengenali siapa yang sedang menelponnya. Dia pun kemudian bercerita kronologis perampokan.
“Perampok itu masuk lewat pintu belakang (kamar mandi) karena masih terbuka,” ceritanya. “Si perampok itu tak bisa masuk ke dalam, karena pintu dapur rumah tertutup,” sambungnya sambil menyebut perampok itu dua orang, satu memakai pakain jaket serba hitam, dan satu lagi bersembunyi.
Saya hanya mendengar saja. “Trus, bagaimana?” tanya saya.
“Mereka pura-pura hendak membeli rokok,” jawabnya. “Tapi, abang (suaminya, red) menjawab rokok sudah habis tak ada lagi dan minta agar membelinya di kios yang tak jauh dari rumah,” terangnya. Namun, lanjutnya, si perampok itu minta dibuka pintu.
Karena tak curiga, katanya, suaminya langsung membuka pintu. Dan…tiba-tiba moncong senjata AK 56 langsung diarahkan ke wajahnya. Suaminya, Alamsyah tak panik, entah pikiran apa yang merasukinya, senjata itu langsung dirampasnya dari tangan si perampok. Giliran perampok yang panik. Senjata itu berhasil dirampasnya setelah terlibat duel sengit. Diambil senjata itu dan langsung diayunkan ke arah perampok. Si perampok itu pun lari. Sementara istrinya dalam keadaan panik, masih sempat melempari kawan si perampok yang bersembunyi di lampoh (kebun) samping rumah dengan kelapa sambil berteriak ada perampok. Mereka pun lari ketakutan.
Suaminya juga ikut menghilang. Saudara saya itu jadi takut, apakah suaminya ikut dibawa perampok, karena sebelumnya sempat berdual. Apalagi, dia menemukan satu magazine AK 56 di belakangnya rumah, diperkirakan jatuh saat duel terjadi.
Ternyata, menurut ceritanya, suaminya lari ke blukoh (semacam balai tempat beristirahat) untuk memberitahukan sama orang kampung dan juga Keuchik. Tak lama kemudian, warga berdatangan, begitu juga aparat dari kepolisian Glumpang Baro.
Saudara saya itu, Salawati, mengaku masih trauma. Malam ini katanya tak bisa tidur. Saudara dekatnya diminta untuk tidur di rumah. Tak ada yang bisa saya sampaikan, kecuali memintanya tetap tenang dan hati-hati. Sebenarnya dia meminta agar kasus ini tak dimuat di koran, karena orang-orang akan bertanya banyak hal soal perampokan itu. Dia juga tak mau namanya masuk koran. Tapi, setelah saya beritahu bahwa perlu diberitakan agar tidak terulang kasus serupa pada orang lain, dia memakluminya. Saya kemudian memintanya untuk membeli Harian Aceh besok hari.
Duh, hanya satu hal yang saya ingat, bahwa jika saya mematikan Hp atau menggantinya dengan nomor rahasia yang tak diketahui orang lain, pasti terjadi insiden atau hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya pun kemudian larut dalam pikiran saya sendiri dan melanjutkan menonton acara Munas Golkar. Ternyata proses pemungutan suara untuk memilih ketua baru memakan waktu yang cukup lama. Bosan menunggunya. Karena tak ingin ketinggalan informasi, saya tetap menontonnya hingga usai, di mana dengan sesekali mengganti channel mencari acara yang bagus. Yang pasti, hasil Munas Golkar tetap saya tunggu, untuk mengetahui siapa Ketua Golkar pengganti Jusuf Kalla selanjutnya.
Untung saja, pihak Metro TV juga menyelipkan dialog dengan menghadirkan narasumber yang ‘kompeten’ untuk menganalisa soal pemilihan ketua baru dan juga arah politik partai Golkar ke depan, apakah akan jadi oposisi atau tetap jadi bagian dari pemerintah (koalisi). Pemateri yang dihadirkan adalah pengamat politik, Soegeng Soerjadi, Eep Saifullah Fattah dan Effendi Ghazali. Analisa-analisa mereka sangat tajam, sehingga menanti hasil pemungutan suara menjadi tak membosankan.
Akhirnya, tibalah saatnya pada penghitungan suara. Suara pertama, kedua, ketiga dan seterusnya dihitung. Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh saling kejar dan menyalip. Namun, seperti sudah diperhitungkan sebelumnya, Abu Rizal Bakrie akhirnya memenangkan pertarungan untuk memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar lima tahun mendatang. Bisa diibaratkan, kejar-kejaran suara antara Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh seperti anjing yang mengejar kereta api. (Lagee asee let keurita apue). Meski sudah dikejar capek-capek dan tak henti, jika tiba di stasiun, kereta api pasti akan berhenti dengan sendirinya. Begitu juga dalam hal perolehan suara, meski terjadi kejar-kejaran, akhirnya Abu Rizal Bakrie tetap keluar sebagai pemenang, begitu semua suara selesai dihitung.
Ada komentar Eep Saifullah Fattah yang menarik untuk disimak oleh para kader Golkar, seusai dipastikan Abu Rizal Bakrie sebagai pemenang kursi Ketua Umum, bahwa kemenangannya jangan sampai berarti sebagai kemenangan partai Demokrat atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semua tahu bahwa Abu Rizal hingga kini masih sebagai salah satu menteri dalam Kabinet SBY. Jangan sampai ke depan akan menggiring Golkar menjadi berkoalisi dengan pemerintah dengan meminta jatah menteri. Entahlah, saya tak menarik mengomentarinya...
Berikut perolehan suara Munas Golkar
Abu Rizal Bakrie: 297
Hutomo Mandala Putra: 0
Surya Paloh: 239
Yuddy Chrisnandi: 0
Foto:
1. Kapolsek Glumpang Baro bersama AK 56 yang digunakan perampok
Banyak kawan yang menasehati agar saya bisa mengatur jadwal dengan baik, tidur dengan cukup. Karena, kata mereka, jika saya kurang istirahat, saya berisiko jatuh sakit. Tapi, saran kawan saya itu belum bisa saya laksanakan. Meski saya merasa dan paham, bahwa kebiasaan saya itu hanya merugikan diri saya sendiri. Mudah-mudahan ke depan, pola hidup saya bisa berubah. Baik dalam hal istirahat, kerja, makan dan juga olahraga.
Dan Rabu (07/10) malam, semua pekerjaan kantor selesai saya kerjakan jam 20.00 WIB. Sementara selesai layout dan kalkir halaman jam 23.00 WIB. Tapi, saya tak langsung pulang ke rumah. Di kantor, saya menyempatkan diri menonton film yang boleh dibilang film zaman, James Bond, karena sudah sering kali diputar. Karena film action dan berhubungan dengan kerja-kerja spionase, saya sangat menyukainya. Oya, sebelumnya saya juga sempat menyaksikan Terminator, yang dimainkan Arnold yang kini jadi Gubernur California. Film ini juga tak bosan-bosannya untuk ditonton, dan tentu saja jadi film favorit bagi anak-anak. (Saya juga).
Tak hanya saya, banyak kawan-kawan di kantor juga ikut menontonnya, karena lagi lowong dari kerja. Meski mereka sudah sering menonton film ini, namun mereka sangat menikmati akting si James Bond, termasuk keberaniannya dalam melakukan penyamaran. Tentu saja, James Bond sudah melegenda. Channel tv tak pernah ditukar, kecuali pas sesi iklan, sambil memantau perkembangan Munas Partai Golkar di Kampar, Riau.
Sambil menunggu selesai print out dan kalkir halaman depan, kami masih betah menonton film dan sambil bercanda seperti biasa. Tiba-tiba ada informasi bahwa di Pidie terjadi perampokan bersenjata. Kebetulan informasi itu masuk ke Hp Pemred. Hp saya sendiri sudah sejak sore saya ganti dengan nomor lain, karena lagi tak mau terganggu dengan SMS dan juga telp. Bisa jadi kawan-kawan di Pidie sudah mencoba berulangkali menghubungi dan mengirim SMS. Saya sendiri tak tahu, karena hingga saya menulis posting ini, saya belum mengganti kartu dengan yang lama. Saya langsung telp ke Pidie untuk memastikan apakah benar ada insiden atau tidak. Ternyata, memang benar adanya upaya perampokan bersenjata api, di mana sang perampok menggunakan AK 56.
Saya minta wartawan piket untuk menghubungi wartawan Pidie menanyai bagaimana insiden yang sebenarnya, karena jika harus menunggu kiriman berita dari mereka banyak menghabiskan waktu, jadi lebih baik wawancara wartawan langsung dan beritanya dibuat di Banda Aceh ini. Lebih praktis dan juga cepat, karena perlu diburu waktu agar kalkir koran tidak lewat jam 24.00 karena akan berpengaruh terhadap distribusi koran ke daerah. Namun, setelah ditelp wartawan di Pidie, dia mengaku sedang melakukan konfirmasi termasuk menanyakan detail peristiwa dari aparat kepolisian. Jadi, terpaksalah menunggu. Ternyata, tak lama kemudian si wartawan langsung menelpon ke Banda Aceh, dan meminta agar beritanya langsung ditulis di Banda. Mulailah Juli Amin (wartawan piket) menulis berita berdasarkan keterangan dari wartawan di Pidie.
Yang membuat saya terkejut, insiden upaya perampokan bersenjata itu terjadi di Kecamatan saya, tepatnya di Desa Garut Bungong, Glumpang Baro, Pidie. Reaksi saya masih seperti biasa, tak menganggap sesuatu yang penting sedang terjadi. Saya masih asyik menonton perkembangan Munas Golkar, termasuk menonton film. Namun, saya menjadi terkejut setelah melihat print out halaman koran, dan memeriksanya. Saya baca headlines tentang insiden perampokan tersebut. Saya baca paragraf demi paragraf. Mata saya kemudian membaca sebuah nama, yang tak asing bagi saya. Langsung saya teriak, bahwa korban perampokan itu adalah saudara saya. Kawan-kawan di kantor pada terkejut dan tak percaya. Saya kemudian menelpon untuk memastikan. Ternyata benar yang jadi korban itu saudara saya (sepupu ayah saya). Karena masih trauma, dia pun memastikan siapa yang sedang menelpon. “Soe nyoe?” tanyanya, yang mengaku masih trauma. “Ini saya Taufik Trueng Campli,” jawab saya. Dia baru lega karena mengenali siapa yang sedang menelponnya. Dia pun kemudian bercerita kronologis perampokan.
“Perampok itu masuk lewat pintu belakang (kamar mandi) karena masih terbuka,” ceritanya. “Si perampok itu tak bisa masuk ke dalam, karena pintu dapur rumah tertutup,” sambungnya sambil menyebut perampok itu dua orang, satu memakai pakain jaket serba hitam, dan satu lagi bersembunyi.
Saya hanya mendengar saja. “Trus, bagaimana?” tanya saya.
“Mereka pura-pura hendak membeli rokok,” jawabnya. “Tapi, abang (suaminya, red) menjawab rokok sudah habis tak ada lagi dan minta agar membelinya di kios yang tak jauh dari rumah,” terangnya. Namun, lanjutnya, si perampok itu minta dibuka pintu.
Karena tak curiga, katanya, suaminya langsung membuka pintu. Dan…tiba-tiba moncong senjata AK 56 langsung diarahkan ke wajahnya. Suaminya, Alamsyah tak panik, entah pikiran apa yang merasukinya, senjata itu langsung dirampasnya dari tangan si perampok. Giliran perampok yang panik. Senjata itu berhasil dirampasnya setelah terlibat duel sengit. Diambil senjata itu dan langsung diayunkan ke arah perampok. Si perampok itu pun lari. Sementara istrinya dalam keadaan panik, masih sempat melempari kawan si perampok yang bersembunyi di lampoh (kebun) samping rumah dengan kelapa sambil berteriak ada perampok. Mereka pun lari ketakutan.
Suaminya juga ikut menghilang. Saudara saya itu jadi takut, apakah suaminya ikut dibawa perampok, karena sebelumnya sempat berdual. Apalagi, dia menemukan satu magazine AK 56 di belakangnya rumah, diperkirakan jatuh saat duel terjadi.
Ternyata, menurut ceritanya, suaminya lari ke blukoh (semacam balai tempat beristirahat) untuk memberitahukan sama orang kampung dan juga Keuchik. Tak lama kemudian, warga berdatangan, begitu juga aparat dari kepolisian Glumpang Baro.
Saudara saya itu, Salawati, mengaku masih trauma. Malam ini katanya tak bisa tidur. Saudara dekatnya diminta untuk tidur di rumah. Tak ada yang bisa saya sampaikan, kecuali memintanya tetap tenang dan hati-hati. Sebenarnya dia meminta agar kasus ini tak dimuat di koran, karena orang-orang akan bertanya banyak hal soal perampokan itu. Dia juga tak mau namanya masuk koran. Tapi, setelah saya beritahu bahwa perlu diberitakan agar tidak terulang kasus serupa pada orang lain, dia memakluminya. Saya kemudian memintanya untuk membeli Harian Aceh besok hari.
Duh, hanya satu hal yang saya ingat, bahwa jika saya mematikan Hp atau menggantinya dengan nomor rahasia yang tak diketahui orang lain, pasti terjadi insiden atau hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya pun kemudian larut dalam pikiran saya sendiri dan melanjutkan menonton acara Munas Golkar. Ternyata proses pemungutan suara untuk memilih ketua baru memakan waktu yang cukup lama. Bosan menunggunya. Karena tak ingin ketinggalan informasi, saya tetap menontonnya hingga usai, di mana dengan sesekali mengganti channel mencari acara yang bagus. Yang pasti, hasil Munas Golkar tetap saya tunggu, untuk mengetahui siapa Ketua Golkar pengganti Jusuf Kalla selanjutnya.
Untung saja, pihak Metro TV juga menyelipkan dialog dengan menghadirkan narasumber yang ‘kompeten’ untuk menganalisa soal pemilihan ketua baru dan juga arah politik partai Golkar ke depan, apakah akan jadi oposisi atau tetap jadi bagian dari pemerintah (koalisi). Pemateri yang dihadirkan adalah pengamat politik, Soegeng Soerjadi, Eep Saifullah Fattah dan Effendi Ghazali. Analisa-analisa mereka sangat tajam, sehingga menanti hasil pemungutan suara menjadi tak membosankan.
Akhirnya, tibalah saatnya pada penghitungan suara. Suara pertama, kedua, ketiga dan seterusnya dihitung. Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh saling kejar dan menyalip. Namun, seperti sudah diperhitungkan sebelumnya, Abu Rizal Bakrie akhirnya memenangkan pertarungan untuk memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar lima tahun mendatang. Bisa diibaratkan, kejar-kejaran suara antara Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh seperti anjing yang mengejar kereta api. (Lagee asee let keurita apue). Meski sudah dikejar capek-capek dan tak henti, jika tiba di stasiun, kereta api pasti akan berhenti dengan sendirinya. Begitu juga dalam hal perolehan suara, meski terjadi kejar-kejaran, akhirnya Abu Rizal Bakrie tetap keluar sebagai pemenang, begitu semua suara selesai dihitung.
Ada komentar Eep Saifullah Fattah yang menarik untuk disimak oleh para kader Golkar, seusai dipastikan Abu Rizal Bakrie sebagai pemenang kursi Ketua Umum, bahwa kemenangannya jangan sampai berarti sebagai kemenangan partai Demokrat atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semua tahu bahwa Abu Rizal hingga kini masih sebagai salah satu menteri dalam Kabinet SBY. Jangan sampai ke depan akan menggiring Golkar menjadi berkoalisi dengan pemerintah dengan meminta jatah menteri. Entahlah, saya tak menarik mengomentarinya...
Berikut perolehan suara Munas Golkar
Abu Rizal Bakrie: 297
Hutomo Mandala Putra: 0
Surya Paloh: 239
Yuddy Chrisnandi: 0
Foto:
1. Kapolsek Glumpang Baro bersama AK 56 yang digunakan perampok
NB: Inilah oleh-oleh bergadang. Semoga berkenan meski tulisannya tak sebagus judulnya. (hehehe)