Oleh Taufik Al Mubarak
Usia pemerintahan Irwandi-Nazar sudah mencapai 3 tahun pada Februari tahun depan. Tapi, suara-suara kekecewaan mulai muncul. Popularitas yang sebelumnya meroket, kini sedikit menurun. Semua bermuara pada satu pertanyaan, apa yang sudah berubah ketika Irwandi-Nazar berkuasa?
Usia pemerintahan Irwandi-Nazar sudah mencapai 3 tahun pada Februari tahun depan. Tapi, suara-suara kekecewaan mulai muncul. Popularitas yang sebelumnya meroket, kini sedikit menurun. Semua bermuara pada satu pertanyaan, apa yang sudah berubah ketika Irwandi-Nazar berkuasa?
Pertanyaan tersebut sering ditanyakan oleh masyarakat setiap ada kesempatan, baik dalam bentuk menggelar demo maupun mengirim pesan ke media yang menyediakan rubrik SMS Pembaca. Sebagian besar dari SMS-SMS itu bernada sama, mempertanyakan soal perubahan di masa kepemimpinan Irwandi-Nazar. Bukankah belum ada perubahan apapun selama kepemimpinan Irwandi-Nazar? Apa sumbangan Irwandi-Nazar untuk rakyat Aceh yang diperjuangkannya selama ini?
Pertanyaan-pertanyaan serupa masih banyak lagi, jika diinventarisir secara maksimal, apalagi dengan memantau media yang menyediakan halaman khusus untuk rubrik SMS Pemabca. Bagi kita pertanyaan warga tersebut bukanlah bentuk pesimisme mereka terhadap kepemimpinan dua tokoh rakyat Aceh ini. Sebagai rakyat yang telah memilih mereka sebagai pemimpin, sangat wajar dan tepat jika bertanya demikian. Mereka sudah memilih, dengan satu harapan adanya perubahan. Ketika perubahan yang ditunggu itu masih kabur, tentu saja rakyat akan bertanya dan terus bertanya.
Bertanya, dimaksudkan untuk mengingatkan sang pemimpin agar tak lupa pada janjinya. Meski, dari dulu hingga sekarang, janji pejabat itu tak pernah bisa dijadikan pegangan, karena kebanyakan janji dimaksudkan sebagai produk yang khusus dijual saat kampanye saja.
Rakyat yang termakan dengan janji, menginginkan agar ’janji perubahan’ itu harus diwujudkan. Dan, pertanyaan masyarakat yang terkesan ’kritis’ itu harus dilihat sebagai bentuk interupsi agar pemimpin yang dipilihnya tak terlena dengan berbagai kebijakan populis, tapi lupa penguatan ke dalam. Selama ini, kesan yang ditangkap adalah pemimpin Aceh itu sukses melakukan gebrakan dengan berbagai pernyataan dan program, tetapi kurang matang dalam perencanaan, sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Sejumlah niat pemerintah Aceh sungguh mulia dengan program ”peumakmu nanggroe”,”Moratorium logging”, Aceh Green dan menghadirkan sejumlah investor ke Aceh. Tapi, semua itu tak cukup dengan sekedar launching atau pernyataan di media, teken kontrak, dan setelah itu tak terdengar aap-apa lagi. Program-program itu butuh planning yang matang. Sebab, ketika tak ada planning yang matang, kebijakan itu hanyalah berbentuk pernyataan populis saja, tetapi kehilangan makna aktualnya.
Kita akui juga, Irwandi-Nazar termasuk orang yang berani dengan ide-ide brilian. Dan memang, Aceh hari ini butuh pemimpin berani seperti mereka. Soal kredibilitas, kedua orang ini sudah tak diragukan. Tetapi, modal keberanian juga belum cukup. Mereka, butuh kemampuan tak hanya kemampuan personal, tetapi kemampuan menghargai orang lain.
Kesan yang tertangkap ke publik (di sejumlah kabupaten juga mengalami hal sama), Irwandi seperti berjalan sendiri, dan terlalu percaya diri dengan kemampuan dirinya. Padahal, Irwandi sendiri plus Nazar tak mungkin membangun Aceh hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Irwandi-Nazar butuh tim yang kuat, yang tentu saja tahu dan mengerti visi dan misi Irwandi. Karenanya, peran tim sukses tak sekedar bertujuan mengantarkan keduanya ke kursi kepala dan wakil kepala pemerintahan Aceh, melainkan juga memastikan visi dan misi berjalan pada real yang benar. Hanya tim sukses saja, yang tahu mana program yang benar-benar bisa diwujudkan dan mana program yang sekedar untuk dijual dalam kampanye.
Kini, di usia pemerintahan yang sudah senja, ada kewajiban besar di pundak Irwandi-Nazar, yaitu mewujudkan kesejahteran dan kemakmuran (prosperity) bagi rakyat Aceh. Kemakmuran, sering disebut sebagai keadaan di mana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan wajar secara mantap dan terus menerus. Pertanyaan kemudian, sudahkah berbagai kebutuhan masyarakat terpenuhi?
Jika pertanyaan itu muncul jawaban ”ya”, muncul pertanyaan susulan, sudahkah rakyat Aceh makmur dan sejahtera? Jawabannya, bisa beragam. Apalagi, banyak dari mereka sudah bekerja di NGO asing dengan gaji yang besar. Tapi itu hanyalah fenomena sesaat. Karen belakangan ini, NGO Internasional pada angkat kaki keluar Aceh. Keberadaan BRR yang dulunya sempat dipandang sebagai lumbung uang, juga sudah lama berakhir mandatnya. Banyak ’alumni’ BRR diyakini menjadi pengangguran dan mencoba mencari kesibukan di tempat lain.
Kita tak perlu heran, jika angka pengangguran di Aceh meningkat. Karena itu konsekuensi logis dari sebuah masa transisi. Yang justru disayangkan—mungkin belum terlambat untuk dibenahi—adalah nasib rakyat yang menjadi korban, baik tsunami maupun konflik. Hingga kini mereka masih menderita. Itu kenyataan yang dihadapi sekarang.
Kita mungkin bisa sedikit bergembira dengan salah satu laporan yang pernah dibuat World Bank, bahwa angka kemiskinan di Aceh menurun pascatsunami dan konflik hingga ke titik 26,5% pada 2006. Tetapi, jangan lupa, pasca tahun 2004, angka tersebut pernah mengalami peningkatan hingga 32,6% pada 2005, dari angka 28,4 % tahun 2004.
Sementara dalam catatan Bappeda, menyebutkan, kemiskinan di Aceh sebagian besar merupakan fenomena pedesaan, dengan lebih dari 30 persen rumah tangga di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat rumah tangga miskin di wilayah perkotaan yang kurang dari 15%.
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, dalam suatu kesempatan saat penyerahan dana bantuan rehab rumah untuk fakir miskin di Aceh Besar, pernah mengatakan, bahwa selama tiga tahun usia pemerintahannya, angka kemiskinan menurun drastis dari 30% menjadi 20% saja. Malah, katanya, angka tersebut bisa lebih kecil lagi, andai saja masyarakat yang didata oleh BPS menjawab jujur setiap pertanyaan yang diajukan petugas pendataan.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa data-data itu menjadi tak bermakna saat kita menyambangi kampung-kampung yang jauh di pedalaman atau di pinggiran kota. Penghasilan dalam satu bulan tak pernah mencapai angka Rp100 ribu. Mereka hanya hidup dari hasil pertanian, yang kini bisa dua kali tanam dalam setahun. Bagi mereka, uang Rp1000 sudah cukup berharga, karena bisa menikmati segelas kopi. Coba bandingkan dengan gaya hidup di kota, saat angka Rp100 ribu tak lagi bermakna. Seorang pekerja NGO yang ngopi bareng teman, sekali minum kopi di warung seperti Solong, Dhapu Kupi, Dekmie, Taufik Kupi dan sejumlah warung yang ’mendadak’ tenar bisa hingga Rp300 ribu.
Kenyataan itu, sama seperti bait lagu Deddy Dorres, ”yang kaya tertawa, berpesta pora.” Sementara yang miskin, seperti kata Bang Joni dalam salah satu penggalan di film Empang Breueh, ”...Nyang gasien meukuwien lam tika.”
Parade kemakmuran, nyatanya tak tersentuh sedikitpun untuk rakyat. Rakyat masih saja berkutat dengan penderitaan, apalagi ketika biaya hidup kian mahal. Elite politik, pekerja NGO, dan para kontraktor boleh saja mewah berselemak dengan harta yang melimpah, mobil mewah dan rumah-rumah gede, tapi rakyat, untuk membeli minyak goreng saja masih sulit.
Jika rakyat mengungkapkan kekecewaan, jangan dipahami sebagai bentuk kebencian, apalagi sebagai ancaman. Pertanyaan rakyat—yang bernada kritis—jangan dipahami sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Dan pemerintah tak perlu alergi dengan sejumlah pertanyaan itu, meski tak enak untuk didengar.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dengan kepemimpinan Irwandi-Nazar? Jawabannya tak lain adalah para spekulan dan oportunis yang selama ini selalu bermain dengan dua wajah. Mereka yang selama ini pandai bermain dalam irama apa saja tergantung arah politik. Bahkan, dengan modal uang mereka mampu menyelamatkan diri, meski pernah mengambil sikap politik berbeda. Sementara rakyat yang selama ini bahu membahu membantu Irwandi-Nazar ’hanya’ menjadi penonton.
Dalam satu kesempatan, Irwandi pernah menyatakan, bahwa yang menjadi kawannya saat berkuasa adalah orang yang ketika sakit bersamanya. Kini, ingatkah Irwandi atas pernyataannya itu?
Sebelum jauh melangkah, kita ingatkan bahwa perjalanan masih jauh, kita butuh pendukung yang lebih ramai untuk menyongsong masa depan. Beban yang ada tak cukup dipikul oleh satu-dua orang saja. Beban itu perlu dipikul oleh orang ramai. Jika tidak, kita tak bisa melakukan apapun, betapapun cerdas dan jeniusnya kita.
Kita hanya ingin ingatkan, janganlah berpuas diri dengan segenggam kekuasaan yang tak permanen itu. Seolah-olah, kekuasaan adalah segala-galanya. Karena, jika dengan kekuasaan itu membuat kita berpuas diri, dan bahkan lupa daratan, menjadi benarlah apa yang sering diingatkan oleh indatu kita, lagee si buntong meurumpok jaroe.
Taufik Al Mubarak, penulis buku Aceh Pungo
Pertanyaan-pertanyaan serupa masih banyak lagi, jika diinventarisir secara maksimal, apalagi dengan memantau media yang menyediakan halaman khusus untuk rubrik SMS Pemabca. Bagi kita pertanyaan warga tersebut bukanlah bentuk pesimisme mereka terhadap kepemimpinan dua tokoh rakyat Aceh ini. Sebagai rakyat yang telah memilih mereka sebagai pemimpin, sangat wajar dan tepat jika bertanya demikian. Mereka sudah memilih, dengan satu harapan adanya perubahan. Ketika perubahan yang ditunggu itu masih kabur, tentu saja rakyat akan bertanya dan terus bertanya.
Bertanya, dimaksudkan untuk mengingatkan sang pemimpin agar tak lupa pada janjinya. Meski, dari dulu hingga sekarang, janji pejabat itu tak pernah bisa dijadikan pegangan, karena kebanyakan janji dimaksudkan sebagai produk yang khusus dijual saat kampanye saja.
Rakyat yang termakan dengan janji, menginginkan agar ’janji perubahan’ itu harus diwujudkan. Dan, pertanyaan masyarakat yang terkesan ’kritis’ itu harus dilihat sebagai bentuk interupsi agar pemimpin yang dipilihnya tak terlena dengan berbagai kebijakan populis, tapi lupa penguatan ke dalam. Selama ini, kesan yang ditangkap adalah pemimpin Aceh itu sukses melakukan gebrakan dengan berbagai pernyataan dan program, tetapi kurang matang dalam perencanaan, sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Sejumlah niat pemerintah Aceh sungguh mulia dengan program ”peumakmu nanggroe”,”Moratorium logging”, Aceh Green dan menghadirkan sejumlah investor ke Aceh. Tapi, semua itu tak cukup dengan sekedar launching atau pernyataan di media, teken kontrak, dan setelah itu tak terdengar aap-apa lagi. Program-program itu butuh planning yang matang. Sebab, ketika tak ada planning yang matang, kebijakan itu hanyalah berbentuk pernyataan populis saja, tetapi kehilangan makna aktualnya.
Kita akui juga, Irwandi-Nazar termasuk orang yang berani dengan ide-ide brilian. Dan memang, Aceh hari ini butuh pemimpin berani seperti mereka. Soal kredibilitas, kedua orang ini sudah tak diragukan. Tetapi, modal keberanian juga belum cukup. Mereka, butuh kemampuan tak hanya kemampuan personal, tetapi kemampuan menghargai orang lain.
Kesan yang tertangkap ke publik (di sejumlah kabupaten juga mengalami hal sama), Irwandi seperti berjalan sendiri, dan terlalu percaya diri dengan kemampuan dirinya. Padahal, Irwandi sendiri plus Nazar tak mungkin membangun Aceh hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Irwandi-Nazar butuh tim yang kuat, yang tentu saja tahu dan mengerti visi dan misi Irwandi. Karenanya, peran tim sukses tak sekedar bertujuan mengantarkan keduanya ke kursi kepala dan wakil kepala pemerintahan Aceh, melainkan juga memastikan visi dan misi berjalan pada real yang benar. Hanya tim sukses saja, yang tahu mana program yang benar-benar bisa diwujudkan dan mana program yang sekedar untuk dijual dalam kampanye.
Kini, di usia pemerintahan yang sudah senja, ada kewajiban besar di pundak Irwandi-Nazar, yaitu mewujudkan kesejahteran dan kemakmuran (prosperity) bagi rakyat Aceh. Kemakmuran, sering disebut sebagai keadaan di mana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan wajar secara mantap dan terus menerus. Pertanyaan kemudian, sudahkah berbagai kebutuhan masyarakat terpenuhi?
Jika pertanyaan itu muncul jawaban ”ya”, muncul pertanyaan susulan, sudahkah rakyat Aceh makmur dan sejahtera? Jawabannya, bisa beragam. Apalagi, banyak dari mereka sudah bekerja di NGO asing dengan gaji yang besar. Tapi itu hanyalah fenomena sesaat. Karen belakangan ini, NGO Internasional pada angkat kaki keluar Aceh. Keberadaan BRR yang dulunya sempat dipandang sebagai lumbung uang, juga sudah lama berakhir mandatnya. Banyak ’alumni’ BRR diyakini menjadi pengangguran dan mencoba mencari kesibukan di tempat lain.
Kita tak perlu heran, jika angka pengangguran di Aceh meningkat. Karena itu konsekuensi logis dari sebuah masa transisi. Yang justru disayangkan—mungkin belum terlambat untuk dibenahi—adalah nasib rakyat yang menjadi korban, baik tsunami maupun konflik. Hingga kini mereka masih menderita. Itu kenyataan yang dihadapi sekarang.
Kita mungkin bisa sedikit bergembira dengan salah satu laporan yang pernah dibuat World Bank, bahwa angka kemiskinan di Aceh menurun pascatsunami dan konflik hingga ke titik 26,5% pada 2006. Tetapi, jangan lupa, pasca tahun 2004, angka tersebut pernah mengalami peningkatan hingga 32,6% pada 2005, dari angka 28,4 % tahun 2004.
Sementara dalam catatan Bappeda, menyebutkan, kemiskinan di Aceh sebagian besar merupakan fenomena pedesaan, dengan lebih dari 30 persen rumah tangga di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat rumah tangga miskin di wilayah perkotaan yang kurang dari 15%.
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, dalam suatu kesempatan saat penyerahan dana bantuan rehab rumah untuk fakir miskin di Aceh Besar, pernah mengatakan, bahwa selama tiga tahun usia pemerintahannya, angka kemiskinan menurun drastis dari 30% menjadi 20% saja. Malah, katanya, angka tersebut bisa lebih kecil lagi, andai saja masyarakat yang didata oleh BPS menjawab jujur setiap pertanyaan yang diajukan petugas pendataan.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa data-data itu menjadi tak bermakna saat kita menyambangi kampung-kampung yang jauh di pedalaman atau di pinggiran kota. Penghasilan dalam satu bulan tak pernah mencapai angka Rp100 ribu. Mereka hanya hidup dari hasil pertanian, yang kini bisa dua kali tanam dalam setahun. Bagi mereka, uang Rp1000 sudah cukup berharga, karena bisa menikmati segelas kopi. Coba bandingkan dengan gaya hidup di kota, saat angka Rp100 ribu tak lagi bermakna. Seorang pekerja NGO yang ngopi bareng teman, sekali minum kopi di warung seperti Solong, Dhapu Kupi, Dekmie, Taufik Kupi dan sejumlah warung yang ’mendadak’ tenar bisa hingga Rp300 ribu.
Kenyataan itu, sama seperti bait lagu Deddy Dorres, ”yang kaya tertawa, berpesta pora.” Sementara yang miskin, seperti kata Bang Joni dalam salah satu penggalan di film Empang Breueh, ”...Nyang gasien meukuwien lam tika.”
Parade kemakmuran, nyatanya tak tersentuh sedikitpun untuk rakyat. Rakyat masih saja berkutat dengan penderitaan, apalagi ketika biaya hidup kian mahal. Elite politik, pekerja NGO, dan para kontraktor boleh saja mewah berselemak dengan harta yang melimpah, mobil mewah dan rumah-rumah gede, tapi rakyat, untuk membeli minyak goreng saja masih sulit.
Jika rakyat mengungkapkan kekecewaan, jangan dipahami sebagai bentuk kebencian, apalagi sebagai ancaman. Pertanyaan rakyat—yang bernada kritis—jangan dipahami sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Dan pemerintah tak perlu alergi dengan sejumlah pertanyaan itu, meski tak enak untuk didengar.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dengan kepemimpinan Irwandi-Nazar? Jawabannya tak lain adalah para spekulan dan oportunis yang selama ini selalu bermain dengan dua wajah. Mereka yang selama ini pandai bermain dalam irama apa saja tergantung arah politik. Bahkan, dengan modal uang mereka mampu menyelamatkan diri, meski pernah mengambil sikap politik berbeda. Sementara rakyat yang selama ini bahu membahu membantu Irwandi-Nazar ’hanya’ menjadi penonton.
Dalam satu kesempatan, Irwandi pernah menyatakan, bahwa yang menjadi kawannya saat berkuasa adalah orang yang ketika sakit bersamanya. Kini, ingatkah Irwandi atas pernyataannya itu?
Sebelum jauh melangkah, kita ingatkan bahwa perjalanan masih jauh, kita butuh pendukung yang lebih ramai untuk menyongsong masa depan. Beban yang ada tak cukup dipikul oleh satu-dua orang saja. Beban itu perlu dipikul oleh orang ramai. Jika tidak, kita tak bisa melakukan apapun, betapapun cerdas dan jeniusnya kita.
Kita hanya ingin ingatkan, janganlah berpuas diri dengan segenggam kekuasaan yang tak permanen itu. Seolah-olah, kekuasaan adalah segala-galanya. Karena, jika dengan kekuasaan itu membuat kita berpuas diri, dan bahkan lupa daratan, menjadi benarlah apa yang sering diingatkan oleh indatu kita, lagee si buntong meurumpok jaroe.
Taufik Al Mubarak, penulis buku Aceh Pungo