Presiden Amerika Serikat ke-28, Woodrow Wilson, suatu kali pernah mengatakan begini, “sejarah membekali kita dengan kemampuan mental yang sangat berharga, yaitu kemampuan menilai.”
Sam Wineburg dalam Berpikir Historis menulis, keliru kalau kita menganggap sejarah hanyalah tentang deretan angka tahun peristiwa yang harus dihafal. Juga tidak tepat kalau kita menganggap sejarah adalah persoalan masa lalu yang tidak penting untu dikaji. Dari sejarahlah kita belajar kearifan, dan sejarah pula yang mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, dan membuat kita belajar dari kesalahan masa lalu. Bangsa yang tidak pernah tahu sejarah dan kejadian di balik proses kelahiran bangsanya, maka bangsa tersebut selalu menjadi kerdil dan terkucil dari peradaban!
Filosof Jerman yang paling banyak disalah-pahami, Friedrich Nietzsche, sering mengatakan bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang: mengingat sekaligus berlupa. Orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat. Dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang berulang-kali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah. Sebaliknya, orang yang tidak sanggup berlupa akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh begitu banyak ingatan akan peristiwa masa lampau, dan menjadikannya sebagai tawanan masa silam. [baca Ignas Kleden, Menulis Politik, Indonesia sebagai Utopia, Kompas, 2004]
Sebagai orang Aceh, kita selalu amat-sangat bangga dengan sejarah masa lalu Aceh yang digambarkan begitu gemilang. Dalam berbagai literatur yang bisa kita baca, kita selalu diajak untuk mengamini bahwa di masa lampau, Aceh adalah sebuah kerajaan yang sangat terkenal di dunia, berdampingan dengan Turki Usmani dan kerajaan Mughal di India. Tapi, kadang kita lupa bertanya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan kejayaan itu di masa mendatang?
Sampai hari ini, kita masih memperlakukan Aceh ibarat pohon berbuah yang rindang, tetapi saban hari kita eksploitasi dengan mengambil buahnya, kadang-kadang dengan cara kasar: bergantungan dan mematahnkan dahan! Kita tak pernah berpikir, bahwa dengan hasil memetik hasil tanpa merawat, lama-lama pohon itu akan tumbang, karena begitu banyak orang bergantungan di dahan untuk memetik buahnya.
Tapi, ada yang membuat kita bangga. Aceh tak pernah menutup diri dari luar. Sebagai wilayah yang berada di lintasan internasional, kehidupan masyarakatnya sangat kosmopolit. Pun begitu, tak membuat Aceh kehilangan identitas. Aceh terus mewarisi nilai-nilai keberagaman dan hidup berdampingan dengan kerajaan lain yang ada di semenanjung Melayu dan beberapa kerajaan di Sumatera, meski sebagian di antaranya menjadi wilayah taklukan. Perjumpaan Aceh dengan beragam suku bangsa di dunia melahirkan keyakinan bahwa kata Aceh itu merupakan dari singkatan Arab, Cina, Eropa dan Hindia, tapi saya tak pernah percaya dengan hayalan ini.
Hebatnya, keberagaman tersebut tak menjadikan peradaban Aceh rapuh. Malah, di masa Kerajaan Aceh ilmu pengetahuan berkembang pesat, hukum dan adat istiadat menyatu dan dipraktikkan secara berdampingan dengan ajaran Islam yang terus bertahan hingga kini. Tradisi keislaman begitu melekat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Nah, hari ini bertepatan dengan peringatan 100 tahun Museum Aceh, mudah-mudahan menjadi momentum bagi kita untuk melestarikan budaya dan merawat ingatan kolektif masyarakat akan kejadian-kejadian besar di masa lampau. Sebab, apa yang terjadi dan kita lakukan hari ini tak pernah bisa dilepaskan dari hubungan masa lalu. Hal-hal baik di masa lalu perlu senantiasa dijaga dan dilestarikan sebagai pembelajaran untuk generasi mendatang, sementara hal-hal yang tidak baik cukup untuk diingat saja agar tidak terulang di masa mendatang.
Terkait hal ini, kita patut belajar dari bekas penjajah, Belanda, tentang bagaimana mereka menjaga ingatan bangsanya. Bagi yang pernah berkunjung ke Museum Leiden, Tropen Museum atau Museum Bronbeek, kita dapat melihat bagaimana rapinya Negeri Kincir Angin itu merawat ingatan bangsanya dengan nilai-nilai sejarah: melalui benda-benda perang (meriam) dan literatur. Meriam dari berbegai jenis itu dipajang mengelilingi dinding museum. Benda-benda perang ini dibawa dari sejumlah wilayah taklukan di Nusantara. Kita tentu bersedih, benda-benda tersebut tidak bisa kita temukan di museum kita.
Kerapian merawat benda-benda bersejarah itu menjadikan museum-museum tersebut sebagai destinasi para peneliti dari berbagai negara untuk melakukan riset tentang sejarah masa lalu Belanda. Bahkan, para siswa di Belanda juga rutin mengunjungi museum untuk mengenal sejarah bangsanya. Di Museum Bronbeek yang dibangun oleh Raja Willem III tahun 1863 atau sepuluh tahun sebelum pecah Perang Aceh untuk mengenang pasukan setianya, KNIL, ditempatkan para veteran perang. Merekalah saksi sejarah dan sumber untuk menggali informasi tentang kejadian di masa lalu. Kita belum melakukan hal-hal berani seperti itu di museum-museum kita.
Mudah-mudahan melalui momentum peringatan 100 Tahun Museum Aceh ini, kita berharap Museum Aceh menjadi pusat pengetahuan dan riset. Harapan ini terlalu tinggi, tapi selama dikelola dengan baik dan tidak amatir, harapan itu bukan mustahil terwujud.
Museum Aceh sebagai cermin bagi kita untuk melihat masa lalu Aceh, sambil memproyeksi masa depan. Sejarah dapat menjadi pedoman bagaimana nilai-nilai perjuangan dan kemegahan itu berguna bagi pembangunan Aceh di masa depan. Apalagi, setelah lahirnya MoU Helsinki 15 Agustus 2015 silam, Aceh memiliki modal yang kuat untuk kembali menjadi hebat.
Semangat perdamaian MoU Helsinki itu memang mengharuskan kita untuk memaafkan berbagai kesalahan-kesalahan di masa lalu, tapi MoU Helsinki tak menganjurkan kita untuk melupakan kesalahan-kesalahan itu. Kita belum pernah membuat prasasti perdamaian untuk mengenang para syuhada. Selayaknya, hal-hal seperti itu juga tidak boleh diabaikan untuk mendapat tempat di museum Aceh ini.
Akhirnya, peringatan 100 tahun Museum Aceh tak membuat kita terlena dengan kegemilangan masa lalu, melainkan bagaimana hal itu memberi makna positif bagi kita untuk melangkah ke depan, tanpa diliputi perasaan canggung. Sebab, kita memiliki jejak-jejak sejarah, terlepas baik buruknya sejarah itu, sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, sejarah benar-benar mengilhami kita dengan kemampuan menilai, seperti disampaikan Woodrow Wilson. []
Sam Wineburg dalam Berpikir Historis menulis, keliru kalau kita menganggap sejarah hanyalah tentang deretan angka tahun peristiwa yang harus dihafal. Juga tidak tepat kalau kita menganggap sejarah adalah persoalan masa lalu yang tidak penting untu dikaji. Dari sejarahlah kita belajar kearifan, dan sejarah pula yang mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, dan membuat kita belajar dari kesalahan masa lalu. Bangsa yang tidak pernah tahu sejarah dan kejadian di balik proses kelahiran bangsanya, maka bangsa tersebut selalu menjadi kerdil dan terkucil dari peradaban!
Filosof Jerman yang paling banyak disalah-pahami, Friedrich Nietzsche, sering mengatakan bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang: mengingat sekaligus berlupa. Orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat. Dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang berulang-kali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah. Sebaliknya, orang yang tidak sanggup berlupa akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh begitu banyak ingatan akan peristiwa masa lampau, dan menjadikannya sebagai tawanan masa silam. [baca Ignas Kleden, Menulis Politik, Indonesia sebagai Utopia, Kompas, 2004]
Sebagai orang Aceh, kita selalu amat-sangat bangga dengan sejarah masa lalu Aceh yang digambarkan begitu gemilang. Dalam berbagai literatur yang bisa kita baca, kita selalu diajak untuk mengamini bahwa di masa lampau, Aceh adalah sebuah kerajaan yang sangat terkenal di dunia, berdampingan dengan Turki Usmani dan kerajaan Mughal di India. Tapi, kadang kita lupa bertanya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan kejayaan itu di masa mendatang?
Sampai hari ini, kita masih memperlakukan Aceh ibarat pohon berbuah yang rindang, tetapi saban hari kita eksploitasi dengan mengambil buahnya, kadang-kadang dengan cara kasar: bergantungan dan mematahnkan dahan! Kita tak pernah berpikir, bahwa dengan hasil memetik hasil tanpa merawat, lama-lama pohon itu akan tumbang, karena begitu banyak orang bergantungan di dahan untuk memetik buahnya.
Tapi, ada yang membuat kita bangga. Aceh tak pernah menutup diri dari luar. Sebagai wilayah yang berada di lintasan internasional, kehidupan masyarakatnya sangat kosmopolit. Pun begitu, tak membuat Aceh kehilangan identitas. Aceh terus mewarisi nilai-nilai keberagaman dan hidup berdampingan dengan kerajaan lain yang ada di semenanjung Melayu dan beberapa kerajaan di Sumatera, meski sebagian di antaranya menjadi wilayah taklukan. Perjumpaan Aceh dengan beragam suku bangsa di dunia melahirkan keyakinan bahwa kata Aceh itu merupakan dari singkatan Arab, Cina, Eropa dan Hindia, tapi saya tak pernah percaya dengan hayalan ini.
Hebatnya, keberagaman tersebut tak menjadikan peradaban Aceh rapuh. Malah, di masa Kerajaan Aceh ilmu pengetahuan berkembang pesat, hukum dan adat istiadat menyatu dan dipraktikkan secara berdampingan dengan ajaran Islam yang terus bertahan hingga kini. Tradisi keislaman begitu melekat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Rumoh Aceh | wikimedia |
Terkait hal ini, kita patut belajar dari bekas penjajah, Belanda, tentang bagaimana mereka menjaga ingatan bangsanya. Bagi yang pernah berkunjung ke Museum Leiden, Tropen Museum atau Museum Bronbeek, kita dapat melihat bagaimana rapinya Negeri Kincir Angin itu merawat ingatan bangsanya dengan nilai-nilai sejarah: melalui benda-benda perang (meriam) dan literatur. Meriam dari berbegai jenis itu dipajang mengelilingi dinding museum. Benda-benda perang ini dibawa dari sejumlah wilayah taklukan di Nusantara. Kita tentu bersedih, benda-benda tersebut tidak bisa kita temukan di museum kita.
Kerapian merawat benda-benda bersejarah itu menjadikan museum-museum tersebut sebagai destinasi para peneliti dari berbagai negara untuk melakukan riset tentang sejarah masa lalu Belanda. Bahkan, para siswa di Belanda juga rutin mengunjungi museum untuk mengenal sejarah bangsanya. Di Museum Bronbeek yang dibangun oleh Raja Willem III tahun 1863 atau sepuluh tahun sebelum pecah Perang Aceh untuk mengenang pasukan setianya, KNIL, ditempatkan para veteran perang. Merekalah saksi sejarah dan sumber untuk menggali informasi tentang kejadian di masa lalu. Kita belum melakukan hal-hal berani seperti itu di museum-museum kita.
Mudah-mudahan melalui momentum peringatan 100 Tahun Museum Aceh ini, kita berharap Museum Aceh menjadi pusat pengetahuan dan riset. Harapan ini terlalu tinggi, tapi selama dikelola dengan baik dan tidak amatir, harapan itu bukan mustahil terwujud.
Museum Aceh sebagai cermin bagi kita untuk melihat masa lalu Aceh, sambil memproyeksi masa depan. Sejarah dapat menjadi pedoman bagaimana nilai-nilai perjuangan dan kemegahan itu berguna bagi pembangunan Aceh di masa depan. Apalagi, setelah lahirnya MoU Helsinki 15 Agustus 2015 silam, Aceh memiliki modal yang kuat untuk kembali menjadi hebat.
Semangat perdamaian MoU Helsinki itu memang mengharuskan kita untuk memaafkan berbagai kesalahan-kesalahan di masa lalu, tapi MoU Helsinki tak menganjurkan kita untuk melupakan kesalahan-kesalahan itu. Kita belum pernah membuat prasasti perdamaian untuk mengenang para syuhada. Selayaknya, hal-hal seperti itu juga tidak boleh diabaikan untuk mendapat tempat di museum Aceh ini.
Akhirnya, peringatan 100 tahun Museum Aceh tak membuat kita terlena dengan kegemilangan masa lalu, melainkan bagaimana hal itu memberi makna positif bagi kita untuk melangkah ke depan, tanpa diliputi perasaan canggung. Sebab, kita memiliki jejak-jejak sejarah, terlepas baik buruknya sejarah itu, sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, sejarah benar-benar mengilhami kita dengan kemampuan menilai, seperti disampaikan Woodrow Wilson. []
Tags:
Artikel