Kematian Ersa Siregar menjadi tragedi paling memilukan akhir tahun 2003 ini. Pentas drama tragika itu menutup tahun dengan balutan kepiluan dan keharuan. Kematian menjadi proses anti-klimaks perjalanan Ersa dan hendaknya menjadi yang terakhir seperti halnya berakhirnya tahun kekerasan ini. Tragedi ini seyogyannya mengajarkan kepada kita betapa mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah konflik yang berkepanjangan.
Seperti diketahui, reporter RCTI Ersa Siregar (52 th) ditemukan tewas pasca-kontak tembak antara pasukan TNI dan GAM di Desa Alue Matang Aron, Simpang Ulim, Aceh Timur (29/12/03). Dalam kontak tembak selama 20 menit sekitar pukul 12.30, Ersa dinyatakan tewas setelah terkena peluru TNI. Peristiwa tragis ini diketahui setelah pihak TNI melakukan operasi pembersihan di lokasi kejadian. Bersama Ersa seorang anggota GAM juga tewas.
Ersa ditahan pihak GAM sejak 29 Juni 2003 lalu bersama kameramen Feri Santoro dan 2 isteri perwira TNI. Penangkapan itu diakui oleh GAM karena mencurigai mereka sebagai mata-mata TNI. Bersama mobil mereka ikut serta dua isteri perwira TNI, Safrida dan Farida. Menurut sumber dari pihak GAM, penangkapan itu terkait dengan maraknya penggunaan mobil berlogo pers oleh TNI dalam operasi pencarian GAM.
Terlepas dari alasan itu, penangkapan Ersa sendiri menghebohkan publik internasional. Organisasi wartawan Internasional (ITJ) berulang kali menyurati Presiden Megawati untuk mengambil kebijakan dalam upaya pembebasan Ersa Siregar. Namun, upaya itu selalu mengalami kendala teknis di lapangan.
Berbagai surat protes, demo dan imbauan untuk membebaskan Ersa menjadi sia-sia. Ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Ersa tak kunjung dibebaskan. Pihak GAM berulangkali mengatakan akan membebaskan Ersa Siregar dengan syarat harus dijemput oleh lembaga internasional seperti ICRC atau PMI. Tetapi, niat baik itu tak kunjung ditanggapi. Sehingga upaya pembebasan Ersa dengan jalan damai kembali menuai kegagalan.
Mis-komunikasi antara Pemerintah-TNI-GAM menyebabkan Ersa gagal dibebaskan. Padahal upaya-upaya pembebasan sudah ditempuh oleh semua pihak termasuk RCTI sendiri. Namun, selalu terganjal mekanisme di lapangan. Apalagi, tidak adanya kesepakatan antara GAM dan TNI untuk tidak saling menyerang pada saat pembebasan tersebut menyebabkan proses itu berlarut-larut. Dan kini semua pihak merasa lega, karena orang yang hendak dibebaskan telah tiada.
Permasalahan kemudian yang patut diajukan adalah kenapa pembebasan William Nassen yang terjebak di markas GAM begitu lancar, sementara proses pembebasan reporter RCTI begitu berliku dan sulit? Kenapa proses pembebasan Ersa harus berakhir tragis dengan kematiannya? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan mengingat keduanya adalah pekerja pers yang perlu mendapatkan jaminan keamanan dari pihak-pihak yang bertikai.
William Nassen, Jurnalis Istimewa
William Nessen adalah seorang wartawan freelance koran San Franisco Cronicle AS dan kontributor untuk The Boston Globe, The Sydney Morning Herald dan koran Inggris The Independent. Warga AS itu terjebak di markas GAM ketika terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM di kawasan Nisam Aceh Utara. Keberadaan Nassen sempat menjadi polemik di media massa.
Sejak diumumkannya status Darurat Militer di Aceh, semua orang asing mulai dibatasi. Saat itu pemerintah ingin menutup Aceh dari pantauan internasional. Para wartawan asing yang ingin meliput harus mengantongi izin dari Deplu dan Menteri Kehakiman dan HAM. Izin itu juga sangat sulit didapat.
Kehadiran William Nassen dalam kancah perang Aceh sangat tidak diinginkan oleh pemerintah. Keberadaannya di markas GAM akan sangat menguntungkan pihak GAM untuk keperluan building opinion di tingkat internasional. Apalagi, saat itu berita-berita dari GAM semakin minim dimuat di media lokal dan nasional. Nah, saat pemerintah tidak mengizinkan berita versi GAM untuk disiarkan di media nasional, pihak GAM justru memanfaatkan media asing lewat tangan Nassen. Secara politik, akan sangat membantu GAM untuk mempengaruhi opini di dunia.
Pemerintah—dalam hal ini TNI—sama sekali tidak ingin hal itu terjadi. Seperti menyadari kekeliruan ketika operasi di Timor Timur, TNI sangat berhati-hati dan selektif dalam mengambil tindakan. Dan serapat mungkin menutup Aceh dari pantauan Internasional. Sebab kehadiran Nessen di markas GAM menyebabkan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI dengan mudah dapat terpantau oleh media Internasional melalui tangan Nessen. Tak aneh jika berbagai upaya ditempuh untuk mengeluarkan Nessen dari sarang GAM. Apalagi, tekanan Internasional khususnya Pemerintah AS sendiri yang tidak ingin warganya menjadi korban di Aceh menjadi penyebab cepatnya Nessen dibebaskan dari markas GAM.
Bagi pemerintah AS, nyawa warga negaranya adalah di atas segala-galanya. Demi nyawa seorang warga, AS tidak akan segan-segan mengirimkan kapal perang untuk menyelamatkannya. Hubungan diplomatik bisa diputuskan. Heroisme Amerika tidak hanya kita saksikan di film-film tetapi bisa jadi menjadi kenyataan. Untuk itu, keselamatan Nessen jadi taruhannnya. Pemerintah tentu mafhum dengan perilaku AS ini. Apalagi, AS baru saja memenangkan perang di Irak. Tidak tertutup kemungkinan, jika warga negaranya menjadi korban di Aceh, AS akan melakukan intervensi secara militer ke Indonesia. Dan itu sama sekali tidak diinginkan oleh pemerintah.
Kita pun jadi maklum, kenapa pembebasan Nessen tidak menemui kendala apapun. Proses pembebasannya pun berjalan lancar dan tidak berbelit-belit prosedur. TNI dalam hal ini sangat berhati-hati, apalagi kasus penembakan dua orang warga negara Jerman menjadi problem yang paling serius dihadapi oleh TNI. Kecolongan itu menjadi pelajaran untuk TNI agar tak gegabah, apalagi sampai mencelakai Nassen.
Nessen pun sontak menjadi jurnalis istimewa di Aceh. Dimanja oleh GAM dan sekaligus oleh TNI. Kebangsaan Nessen—AS—jadi alasan yang membuatnya begitu istimewa. Kebangsaan itu pula yang menyebabkannya punya nilai tawar yang lebih tinggi. Dan itu berpengaruh pada pembebasannya.
Bukan hanya itu, pembebaban Nassen menjadi prosesi yang meriah di tengah konflik Aceh. Dalam prosesi pembebasan yang dipimpin oleh Koops TNI Mayjen Bambang Darmono turut hadir Kapuspen TNI Mayjen Syafrie Syamsoeddin dan Atase Pertahanan AS Kolonel Joe Judge. Di samping itu diperkuat dua truk reo dan dua tank beserta puluhan prajurit TNI. Hal itu seperti memperlihatkan, bahwa Nesen seorang pejabat tinggi sedang keluar dari hutan dan perlu dijemput dengan meriah.
TNI memang benar-benar memperlakukan Nessen dengan baik. TNI ingin memperlihatkan bahwa mereka menjamin akan melindungi Nessen. Penjemputan itu tidak dilakukan sembarangan. Keikutsertaan Atase pertahanan AS hanya untuk menunjukkan keseriusan TNI melindungi Nessen. Betapa mulianya Nassen di mata TNI.
Aspek perlindungan korban lebih ditonjolkan dalam upaya pembebasan Nessen. Dan Nessen (mungkin) menjadi jurnalis paling istimewa ketika meliput di Aceh.
Ersa Siregar, Tumbal Egoisme
Ersa menjadi tumbal dari sebuah egoisme. Padahal, keselamatan Ersa sangatlah penting karena sebagai wartawan dia pantas dilindungi oleh pihak-pihak yang bertikai. Begitu pun sebagai sipil (non combatan) dia tidak boleh ditembak dan dikorbankan untuk kesuksesan operasi TNI. Upaya-upaya pembebasan harus dilakukan se-aman mungkin. Terlalu mengendepankan kepentingan militer sama sekali tidak menjamin Ersa akan bebas dengan selamat.
Kini, keinginan membebaskan Ersa dengan selamat hanya menjadi mimpi dan tidak mungkin terulang kembali. Ersa sudah bungkam untuk selama-lamanya.
Pertanyaan bagaimana Ersa tertembak? Siapa yang menembak? Dan siapa yang bersalah menjadi tidak lagi penting. Apakah Ersa sengaja ditembak? Juga masih kabur. Ersa sudah pergi. Sejuta kenangan dari liputannya yang sempat ditunggu-tunggu selesai sudah. Kisah Ersa berlangsung anti-klimaks. Skenario yang dirancang terpaksa keluar dari frame. Sekarang kita hanya berharap kasus serupa tidak terulang lagi pada wartawan lain. Amat mahal harga yang harus dibayar dari sebuah perang: kematian yang tidak diinginkan. Dan kematiannya menjadi misteri yang kelabu.
Yang disesalkan adalah kenapa Ersa diperlakukan beda dengan Nassen. Jika pembebasan Nassen, TNI menahan diri supaya tak ada senjata menyalak dan tidak satu pun peluru boleh keluar. Tapi kenapa, untuk Ersa Siregar TNI ngotot mengandalkan operasi yang berarti akan ada senjata yang menyalak. Di samping itu kenapa pembebasan Ersa begitu banyak kendala. Proses pembebasannya berjalan lambat dan berbelit-belit. Apakah karena Ersa warga negara sendiri sehingga keselamatannya menjadi tidak penting, dan boleh dikorbankan jika untuk menyukseskan operasi TNI dalam membekuk GAM.
Beda Nasib
Kasus Ersa tidak seperti di film, skenarionya berlangsung anti klimaks. Kematian Ersa tidak diharapkan, tapi itu yang kemudian terjadi. Semua pihak berharap Ersa tidak meninggal. Tetapi, kematiannya begitu menyentakkan dada semua pihak. Penantian akan adanya berita eklusif menjadi sirna. Dan berubah menjadi eposide pilu yang harus diterima dengan lapang dada.
Terakhir kita hanya bisa menyampaikan, (ternyata) Ersa memang beda dengan William Nessen yang berkebangsaan Amerika itu! Perbedaan nasib itu boleh jadi karena beda kebangsaan. Jika Nessen menjadi warga dari negara yang begitu menjunjung tinggi nyawa warga negaranya, maka Ersa sebaliknya. Ersa hanyalah warga dari sebuah negara yang tidak begitu mementingkan nyawa seseorang. Ersa hanyalah warga Negara yang lebih mementingkan sejengkal tanah dan teritorial yang perlu dipertahankan. Di sini, lebih dipentingkan keutuhan NKRI dari pada manusia yang bernaung di bawahnya.
Ersa mungkin paham pada ritme sebuah perang. Dia tahu bahwa perang adalah sarana saling membunuh dan melumpuhkan. Dalam perang, sipil menjadi pihak yang paling banyak menerima akibatnya. Ersa bagai sudah memprediksi nasibnya ketika diwawancara Radio Netherland (08/07/03) "Ya, saya merasa prihatin. Kan kalau ada konflik itu tetap aja masyarakat sipil yang lebih sering rentan, itu adalah masyarakat sipil.
Selamat jalan Ersa Siregar. Kematianmu mungkin tidak diharapkan. Tetapi, jika kematian itu membuka ruang terciptanya perdamaian di Aceh, maka engkau telah berkorban cukup besar untuk sebuah perdamaian! (04/01/2004)
Seperti diketahui, reporter RCTI Ersa Siregar (52 th) ditemukan tewas pasca-kontak tembak antara pasukan TNI dan GAM di Desa Alue Matang Aron, Simpang Ulim, Aceh Timur (29/12/03). Dalam kontak tembak selama 20 menit sekitar pukul 12.30, Ersa dinyatakan tewas setelah terkena peluru TNI. Peristiwa tragis ini diketahui setelah pihak TNI melakukan operasi pembersihan di lokasi kejadian. Bersama Ersa seorang anggota GAM juga tewas.
Ersa ditahan pihak GAM sejak 29 Juni 2003 lalu bersama kameramen Feri Santoro dan 2 isteri perwira TNI. Penangkapan itu diakui oleh GAM karena mencurigai mereka sebagai mata-mata TNI. Bersama mobil mereka ikut serta dua isteri perwira TNI, Safrida dan Farida. Menurut sumber dari pihak GAM, penangkapan itu terkait dengan maraknya penggunaan mobil berlogo pers oleh TNI dalam operasi pencarian GAM.
Terlepas dari alasan itu, penangkapan Ersa sendiri menghebohkan publik internasional. Organisasi wartawan Internasional (ITJ) berulang kali menyurati Presiden Megawati untuk mengambil kebijakan dalam upaya pembebasan Ersa Siregar. Namun, upaya itu selalu mengalami kendala teknis di lapangan.
Berbagai surat protes, demo dan imbauan untuk membebaskan Ersa menjadi sia-sia. Ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Ersa tak kunjung dibebaskan. Pihak GAM berulangkali mengatakan akan membebaskan Ersa Siregar dengan syarat harus dijemput oleh lembaga internasional seperti ICRC atau PMI. Tetapi, niat baik itu tak kunjung ditanggapi. Sehingga upaya pembebasan Ersa dengan jalan damai kembali menuai kegagalan.
Mis-komunikasi antara Pemerintah-TNI-GAM menyebabkan Ersa gagal dibebaskan. Padahal upaya-upaya pembebasan sudah ditempuh oleh semua pihak termasuk RCTI sendiri. Namun, selalu terganjal mekanisme di lapangan. Apalagi, tidak adanya kesepakatan antara GAM dan TNI untuk tidak saling menyerang pada saat pembebasan tersebut menyebabkan proses itu berlarut-larut. Dan kini semua pihak merasa lega, karena orang yang hendak dibebaskan telah tiada.
Permasalahan kemudian yang patut diajukan adalah kenapa pembebasan William Nassen yang terjebak di markas GAM begitu lancar, sementara proses pembebasan reporter RCTI begitu berliku dan sulit? Kenapa proses pembebasan Ersa harus berakhir tragis dengan kematiannya? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan mengingat keduanya adalah pekerja pers yang perlu mendapatkan jaminan keamanan dari pihak-pihak yang bertikai.
William Nassen, Jurnalis Istimewa
William Nessen adalah seorang wartawan freelance koran San Franisco Cronicle AS dan kontributor untuk The Boston Globe, The Sydney Morning Herald dan koran Inggris The Independent. Warga AS itu terjebak di markas GAM ketika terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM di kawasan Nisam Aceh Utara. Keberadaan Nassen sempat menjadi polemik di media massa.
Sejak diumumkannya status Darurat Militer di Aceh, semua orang asing mulai dibatasi. Saat itu pemerintah ingin menutup Aceh dari pantauan internasional. Para wartawan asing yang ingin meliput harus mengantongi izin dari Deplu dan Menteri Kehakiman dan HAM. Izin itu juga sangat sulit didapat.
Kehadiran William Nassen dalam kancah perang Aceh sangat tidak diinginkan oleh pemerintah. Keberadaannya di markas GAM akan sangat menguntungkan pihak GAM untuk keperluan building opinion di tingkat internasional. Apalagi, saat itu berita-berita dari GAM semakin minim dimuat di media lokal dan nasional. Nah, saat pemerintah tidak mengizinkan berita versi GAM untuk disiarkan di media nasional, pihak GAM justru memanfaatkan media asing lewat tangan Nassen. Secara politik, akan sangat membantu GAM untuk mempengaruhi opini di dunia.
Pemerintah—dalam hal ini TNI—sama sekali tidak ingin hal itu terjadi. Seperti menyadari kekeliruan ketika operasi di Timor Timur, TNI sangat berhati-hati dan selektif dalam mengambil tindakan. Dan serapat mungkin menutup Aceh dari pantauan Internasional. Sebab kehadiran Nessen di markas GAM menyebabkan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI dengan mudah dapat terpantau oleh media Internasional melalui tangan Nessen. Tak aneh jika berbagai upaya ditempuh untuk mengeluarkan Nessen dari sarang GAM. Apalagi, tekanan Internasional khususnya Pemerintah AS sendiri yang tidak ingin warganya menjadi korban di Aceh menjadi penyebab cepatnya Nessen dibebaskan dari markas GAM.
Bagi pemerintah AS, nyawa warga negaranya adalah di atas segala-galanya. Demi nyawa seorang warga, AS tidak akan segan-segan mengirimkan kapal perang untuk menyelamatkannya. Hubungan diplomatik bisa diputuskan. Heroisme Amerika tidak hanya kita saksikan di film-film tetapi bisa jadi menjadi kenyataan. Untuk itu, keselamatan Nessen jadi taruhannnya. Pemerintah tentu mafhum dengan perilaku AS ini. Apalagi, AS baru saja memenangkan perang di Irak. Tidak tertutup kemungkinan, jika warga negaranya menjadi korban di Aceh, AS akan melakukan intervensi secara militer ke Indonesia. Dan itu sama sekali tidak diinginkan oleh pemerintah.
Kita pun jadi maklum, kenapa pembebasan Nessen tidak menemui kendala apapun. Proses pembebasannya pun berjalan lancar dan tidak berbelit-belit prosedur. TNI dalam hal ini sangat berhati-hati, apalagi kasus penembakan dua orang warga negara Jerman menjadi problem yang paling serius dihadapi oleh TNI. Kecolongan itu menjadi pelajaran untuk TNI agar tak gegabah, apalagi sampai mencelakai Nassen.
Nessen pun sontak menjadi jurnalis istimewa di Aceh. Dimanja oleh GAM dan sekaligus oleh TNI. Kebangsaan Nessen—AS—jadi alasan yang membuatnya begitu istimewa. Kebangsaan itu pula yang menyebabkannya punya nilai tawar yang lebih tinggi. Dan itu berpengaruh pada pembebasannya.
Bukan hanya itu, pembebaban Nassen menjadi prosesi yang meriah di tengah konflik Aceh. Dalam prosesi pembebasan yang dipimpin oleh Koops TNI Mayjen Bambang Darmono turut hadir Kapuspen TNI Mayjen Syafrie Syamsoeddin dan Atase Pertahanan AS Kolonel Joe Judge. Di samping itu diperkuat dua truk reo dan dua tank beserta puluhan prajurit TNI. Hal itu seperti memperlihatkan, bahwa Nesen seorang pejabat tinggi sedang keluar dari hutan dan perlu dijemput dengan meriah.
TNI memang benar-benar memperlakukan Nessen dengan baik. TNI ingin memperlihatkan bahwa mereka menjamin akan melindungi Nessen. Penjemputan itu tidak dilakukan sembarangan. Keikutsertaan Atase pertahanan AS hanya untuk menunjukkan keseriusan TNI melindungi Nessen. Betapa mulianya Nassen di mata TNI.
Aspek perlindungan korban lebih ditonjolkan dalam upaya pembebasan Nessen. Dan Nessen (mungkin) menjadi jurnalis paling istimewa ketika meliput di Aceh.
Ersa Siregar, Tumbal Egoisme
Ersa menjadi tumbal dari sebuah egoisme. Padahal, keselamatan Ersa sangatlah penting karena sebagai wartawan dia pantas dilindungi oleh pihak-pihak yang bertikai. Begitu pun sebagai sipil (non combatan) dia tidak boleh ditembak dan dikorbankan untuk kesuksesan operasi TNI. Upaya-upaya pembebasan harus dilakukan se-aman mungkin. Terlalu mengendepankan kepentingan militer sama sekali tidak menjamin Ersa akan bebas dengan selamat.
Kini, keinginan membebaskan Ersa dengan selamat hanya menjadi mimpi dan tidak mungkin terulang kembali. Ersa sudah bungkam untuk selama-lamanya.
Pertanyaan bagaimana Ersa tertembak? Siapa yang menembak? Dan siapa yang bersalah menjadi tidak lagi penting. Apakah Ersa sengaja ditembak? Juga masih kabur. Ersa sudah pergi. Sejuta kenangan dari liputannya yang sempat ditunggu-tunggu selesai sudah. Kisah Ersa berlangsung anti-klimaks. Skenario yang dirancang terpaksa keluar dari frame. Sekarang kita hanya berharap kasus serupa tidak terulang lagi pada wartawan lain. Amat mahal harga yang harus dibayar dari sebuah perang: kematian yang tidak diinginkan. Dan kematiannya menjadi misteri yang kelabu.
Yang disesalkan adalah kenapa Ersa diperlakukan beda dengan Nassen. Jika pembebasan Nassen, TNI menahan diri supaya tak ada senjata menyalak dan tidak satu pun peluru boleh keluar. Tapi kenapa, untuk Ersa Siregar TNI ngotot mengandalkan operasi yang berarti akan ada senjata yang menyalak. Di samping itu kenapa pembebasan Ersa begitu banyak kendala. Proses pembebasannya berjalan lambat dan berbelit-belit. Apakah karena Ersa warga negara sendiri sehingga keselamatannya menjadi tidak penting, dan boleh dikorbankan jika untuk menyukseskan operasi TNI dalam membekuk GAM.
Beda Nasib
Kasus Ersa tidak seperti di film, skenarionya berlangsung anti klimaks. Kematian Ersa tidak diharapkan, tapi itu yang kemudian terjadi. Semua pihak berharap Ersa tidak meninggal. Tetapi, kematiannya begitu menyentakkan dada semua pihak. Penantian akan adanya berita eklusif menjadi sirna. Dan berubah menjadi eposide pilu yang harus diterima dengan lapang dada.
Terakhir kita hanya bisa menyampaikan, (ternyata) Ersa memang beda dengan William Nessen yang berkebangsaan Amerika itu! Perbedaan nasib itu boleh jadi karena beda kebangsaan. Jika Nessen menjadi warga dari negara yang begitu menjunjung tinggi nyawa warga negaranya, maka Ersa sebaliknya. Ersa hanyalah warga dari sebuah negara yang tidak begitu mementingkan nyawa seseorang. Ersa hanyalah warga Negara yang lebih mementingkan sejengkal tanah dan teritorial yang perlu dipertahankan. Di sini, lebih dipentingkan keutuhan NKRI dari pada manusia yang bernaung di bawahnya.
Ersa mungkin paham pada ritme sebuah perang. Dia tahu bahwa perang adalah sarana saling membunuh dan melumpuhkan. Dalam perang, sipil menjadi pihak yang paling banyak menerima akibatnya. Ersa bagai sudah memprediksi nasibnya ketika diwawancara Radio Netherland (08/07/03) "Ya, saya merasa prihatin. Kan kalau ada konflik itu tetap aja masyarakat sipil yang lebih sering rentan, itu adalah masyarakat sipil.
Selamat jalan Ersa Siregar. Kematianmu mungkin tidak diharapkan. Tetapi, jika kematian itu membuka ruang terciptanya perdamaian di Aceh, maka engkau telah berkorban cukup besar untuk sebuah perdamaian! (04/01/2004)
Tags:
Artikel