Barack Obama is three
things you want in a brand: new, different, and attractive - Keith
Reinhard, DDB Worldwide.
Rakyat Indonesia bersiap-siap menyambut presiden baru,
antara Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Dua nama ini, kita yakini akan lebih
sering kita dengar, lihat dan baca. Nama dan suara mereka akan hadir silih
berganti dengan iklan produk lain di radio, televisi maupun di media cetak.
Ya, hingga 9 Juli nanti, nama kedua orang ini ‘dijual’ laiknya
merek sebuah produk, berdampingan dengan iklan produk lain di media. Merek JokoWidodo dan Prabowo Subianto berlomba-lomba memperebutkan calon pembeli, yaitu
Rakyat Indonesia. Beragam cara dilakukan oleh tim kampanye kedua kandidat dalam
memoles citra produk yang mereka jual ini sebagai merek terbaik: bahwa merek mereka
berbeda dan lebih unggul dari merek lain.
Twitter Joko Widodo |
Apakah merek Joko Widodo atau Prabowo Subianto yang lebih
kuat dan menyentuh para calon pemilih, sangat tergantung pada kemampuan dan
kecerdasan tim kampanye kedua kandidat untuk menanamkan citra sebagai produk paling
diinginkan rakyat Indonesia.
Pencitraan
Marcel Danesi dalam Pesan,Tanda dan Makna (2012), menyebutkan ada premis umum yang dibentuk industri
periklanan bahwa penjualan sebuah produk akan meningkat apabila produk tersebut
dapat dikaitkan dengan gaya hidup dan tren nilai yang berlaku secara sosial. Tim
kampanye pasangan Capres cukup sadar akan hal ini. Mereka akan sekuat tenaga
memunculkan citra bahwa sosok yang dijualnya tersebut mengikuti tren yang
sedang booming.
Selama sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, misalnya, kesan umum yang terbentuk di masyarakat, SBY itu peragu,
terlalu hati-hati, dan tidak tegas. Menjual dan membangun citra sosok Capres
menyerupai SBY jelas akan salah dan kalah. Sebab, rakyat mendambakan sosok presiden
yang berbeda, sebagai antitesa terhadap sepuluh tahun pemerintahan SBY.
Faktor ini sangat dipertimbangkan tim kampanye kedua kubu
Capres saat menggarap iklan. Coba kita perhatikan iklan Joko Widodo dan Prabowo
Subianto yang muncul di media. Kita diajak mengagumi sosok Gubernur DKI melalui
tagline ‘Jokowi adalah kita’ atau
sosok Prabowo melalui ungkapan ‘mengembalikan Indonesia sebagai macan Asia’.
Tagline tersebut jelas
tak digarap secara asal-asalan. Ada citra yang ingin dibentuk. Pada iklan Joko
Widodo, misalnya, citra yang ingin dibentuk adalah kesederhanaan juga sosok Joko
Widodo bagian dari rakyat kebanyakan. Dia tak berbeda dengan kita. Sementara
pada iklan Prabowo, kita diajak untuk melihat sosok yang keras dan tegas. Umum
dipahami, Macan adalah binatang kerap melambangkan keperkasaan dan jantan.
Dalam dunia periklanan, hal ini cukup lumrah dilakukan,
bahwa citra suatu produk berhasil atau gagal sangat tergantung pada kemampuan
pengiklan/produsen mengaburkan antara produk dan kesadaran sosial terhadap
produk tersebut. Ini memang tidak mudah. Tapi, kata Marcel Danesi, ada dua
teknik utama yang membuat iklan sebuah produk begitu kuat. Pertama, penempatan atau penargetan sebuah produk bagi orang-orang
yang tepat. Rakyat yang punya pengalaman dipimpin presiden peragu, lambat dan
tidak tegas, pasti menginginkan sosok yang berbeda. Jadi, pada iklan kedua
capres kita ini terbaca dengan jelas, baik tim Joko Widodo maupun Prabowo
Subianto, berusaha membangun citra bahwa jagoan mereka selaras dengan kriteria
pemimpin yang dibutuhkan: merakyat, cepat dan tegas.
Kedua, teknik mitologisasi,
menanamkan makna mistis pada nama merek, logo, rancangan produk, iklan atau
pariwara. Teknik ini memang belum terlihat dari iklan-iklan kampanye kedua
capres kita yang muncul di televisi. Tapi, pemilihan lokasi deklarasi, Joko
Widodo-Jusuf Kalla di Gedung Joang; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Rumah
Polonia, jelas ada nilai mistis dan historis yang ingin ditanamkan dalam diri kedua
kandidat Capres ini. Selain itu, pemilihan busana warna putih plus peci,
semakin menunjukkan bahwa keduanya berharap dipandang sebagai reinkarnasi
Soekarno. Keduanya berharap dapat mengambil tuah
dari Proklamator Kemerdekaan tersebut.
Jejaring sosial
Kekuatan citra dan merek yang menjadikan seseorang
terpilih dapat kita saksikan pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2008
(juga 2012). Barack Obama tak punya silsilah dan trah politik seperti Kennedy,
Clinton atau Bush. Tapi, Obama memiliki tim kampanye yang mumpuni, mampu
memanfaatkan semua platform media dan saluran yang ada, termasuk jejaring
sosial. Hal inilah yang menyulap citra Obama mampu menyamai trah politik
terkenal di Amerika itu.
Chairman DDB Worldwide, Keith Reinhard, punya jawaban
mengapa citra Obama begitu kuat, bahkan menjadi merek yang paling digandrungi
saat itu: dia baru, dia berbeda dan menarik (Barack Obama is three things you want in a brand: new, different, and
attractive). Citra tersebut terus terjaga hingga Pemilihan Presiden 2012,
yang juga dimenangkan Obama.
Para tim kampanye Capres di tempat kita harusnya belajar dari keberhasilan Obama. Diserang berbagai isu, termasuk mempertanyakan agama
dan akte kelahiran, Obama tetap bertahan. Kenapa? Obama punya tim kampanye
profesional: mereka hanya fokus pada pembentukan citra dan menggaet calon
pemilih sebanyak-banyaknya. Kampanye yang paling berhasil itu bagaimana mampu
menghimpun kawan sebanyak mungkin, dan merekalah yang akan melawan
serangan-serangan lawan.
Ini yang dilakukan tim Obama. Mereka membangun basis
pendukung melalui jejaring sosial dan didata cukup rapi (bahkan berdasarkan
lokasi pemilihan). Secara berkala, mereka mengirim e-mail kepada calon pemilih.
Mereka tak hanya butuh calon pemilih, melainkan juga pendukung kebijakan. Tiap
kebijakan apapun atau ingin melakukan apapun, para pendukung ini mendapatkan e-mail
secara berkala, update via Facebook, Twitter maupun Youtube. Benar-benar
profesional.
Hal ini yang masih alpa dilakukan para tim kampanye
Capres kita. Mereka memang memanfaatkan jejaring sosial, media online dan
Youtube. Tapi, belum mengakar dan rapi seperti dilakukan tim Obama. Mereka tak
membangun basis pendukung di jejaring sosial yang terdata secara rapi. Jejaring
sosial, media online dan Youtube lebih sering digunakan memperburuk citra lawan,
tapi kurang membangun citra kandidat sendiri. Pada akhirnya, bukan simpati yang
didapat, melainkan caci-maki. Selain itu, medium tersebut hanya bergeliat saat
musim kampanye saja.
Di atas segalanya, kita berharap tim kampanye kedua kandidat presiden lebih fokus menjual produk masing-masing, tanpa perlu melakukan kampanye hitam serta cara-cara kotor. Kemenangan tak harus dicapai dengan menghalalkan segala cara. Apalagi, kita selalu percaya bahwa produk bagus sama sekali tak perlu promosi!
Di atas segalanya, kita berharap tim kampanye kedua kandidat presiden lebih fokus menjual produk masing-masing, tanpa perlu melakukan kampanye hitam serta cara-cara kotor. Kemenangan tak harus dicapai dengan menghalalkan segala cara. Apalagi, kita selalu percaya bahwa produk bagus sama sekali tak perlu promosi!
Tags:
Artikel